KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan
sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah Pelayanan Publik.
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis sadar makalah ini
belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.
Jatinangor, November 2010
Penulis,
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR .........................................................
DAFTAR
ISI........................................................................
BAB
I PENDAHULUAN......................................................
1.1 Latar Belakang Masalah..........................................
1.2 Tujuan Penulisan....................................................
1.3 Rumusan Masalah....................................................
BAB
II PEMBAHASAN..........................................................
2.1. Permasalahan Pelayanan Publik ................................
2.2. Pemecahan Masalah ................................................
2.3.
Desentralisasi...........................................................
2.4. Budaya melayani........................................................
BAB III KESIMPULAN..........................................................
DAFTAR
PUSTAKA................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Pelayanan publik pada
dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan
bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik
yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan
atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan
reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada
awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya
peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan
sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain
melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian
Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana
Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap
peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995
tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada
Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan
No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.Oleh
karena saya membuat makalah ini dengan judul “Opini Publik
tenteng Kinerja Pelayanan Publik”
,dan diharapkan agar kita lebih memahami tentang kinerja pelatan
publik itu sendiri.
1.2. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis
memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui kinerja birokrat dan kebijakan pelayanan publik dalam pemerintah apakah sudah
memenuhi standar.
2. Mengetahui tentang paradigma pelayanan publik.
3. Mengetahui tentang perubahan kualitas
pelayanan publik pemerintah daerah.
1.3.
Rumusan Masalah
Penulis
mengambil masalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana
peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam desentralisasi pemerintah daerah?
2.
Bagaimanakah
paradigma pelayanan publik pemerintah daerah?
3.
Bagaimanakah
kualitas pelayanan publik pemerintah daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Permasalahan Pelayanan Publik
Permasalahan utama
pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas
pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada
berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana),
dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan.
Dilihat dari sisi
pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan
antara lain:
a.
Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur
pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai
dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan,
aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan
sama sekali.
b.
Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada
masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c.
Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari
jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan
pelayanan tersebut.
d.
Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya
sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun
pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan
lain yang terkait.
e.
Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya
dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga
menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan
penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff)
untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan
masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka
menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat
sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk
diselesaikan.
f.
Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat
pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari
masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada
perbaikan dari waktu ke waktu
g.
Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam
pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Dilihat dari sisi
sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan
profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju
bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem
kompensasi yang tepat.
Dilihat dari sisi
kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak
dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh
dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan
tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus,
fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan
oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Kualitas pelayanan publik yang kerap dikeluhkan
masyarakat, dapat terjadi karena berbagai hal. Salah satu determinan internal
adalah lemahnya sistem pengendalian manajemen pemerintahan. Seperti kita
ketahui, pada jam-jam pelayanan publik, aparat kerap lalai dalam melayani
masyarakat. Masalah berikutnya adalah ringannya konsekuensi dari kealpaan ini.
Habituasi dari kealpaan ini, berpotensi
menciptakan set mental tertentu mengenai tanggung jawab pekerjaan di kepala
setiap aparat. Set mental ini menjadi derivasi bagi budaya kerja, sebagian
lembaga pemerintahan yang lazim datang terlambat, kualitas pelayanan minimalis,
hingga mempersulit proses.
Selain itu, determinan internal lainnya adalah
penempatan posisi (position building), yang dibangun secara horizontal antara
aparat pemerintah dengan masyarakat. Paradigma posisi atasan-bawahan ini,
menghasilkan suatu ketergantungan akut. Sebab, dalam persepsi masyarakat dan
pemerintah itu sendiri, pemenuhan hak-hak masyarakat adalah pemberian dan bukan
tanggung jawab.
Paradigma ini yang disebut budaya paternalistik,
terkadang diinternalisasi aparat pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian,
pemerintah dengan mudah dapat mempermainkan wewenangnya dalam melayani
masyarakat. Di sisi lain, masyarakat pun terjebak dalam posisi subordinat,
dengan daya gugat yang lemah.
Subordinasi masyarakat dalam pelayanan publik,
juga dipengaruhi politik pemerintahan yang tertutup. Dengan pendekatan ini,
pemerintah menjadi sistem yang tidak responsif dalam mengakomodasi nilai-nilai
dan kebutuhan dari masyarakat. Terjadi represi artifisial terhadap setiap
aspirasi masyarakat.
2.2.
Pemecahan Masalah
Tuntutan masyarakat
pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin
menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh
kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan
pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penetapan Standar
Pelayanan.
Standar pelayanan
memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan
merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan
dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan
harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan
standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan,
identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi
pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya
pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar
pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan
yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga
dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber
daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang
akan ditanganinya.
2. Pengembangan Standard
Operating Procedures (SOP).
Untuk memastikan
bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya
Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang
dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan
acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten.
3. Pengembangan Survey
Kepuasan Pelanggan.
Untuk menjaga
kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan
masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai
apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi
kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan
memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;
4. Pengembangan Sistem
Pengelolaan Pengaduan.
Pengaduan masyarakat
merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan
untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem
pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai
pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan;
Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat
dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal
tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan
secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model
yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal
ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang,
pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini
pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik
tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga
maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi.
Disamping itu,
peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya
restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan
publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi
tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.
2.3.
Desentralisasi
Kasus - Kasus Federalisme
yang Bertentangan dengan Desentralisasi
- Di Kanada, pemerintah Federal dapat membatalkan Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah propinsi, dan bahkan menginstruksikan Letnan Gubernur untuk menundanya.
- Konstitusi di bekas negara Uni Soviet menentukan bahwa satu-satunya yang berhak melakukan amandemen terhadap konstitusi adalah Pemerintah Pusat. Bahkan kekuasaan Pemerintah Pusat sangat besar dibandingkan dengan yang dimiliki atau yang menjadi haknya pemerintah Negara Bagian di negara itu.
2.4.
Budaya melayani
Untuk mereduksi
"budaya pelayanan minimalis" tersebut, sistem pengendalian SDM yang
lebih ketat mutlak diperlukan. Reformasi birokrasi bukan soal perbaikan sistem
semata, tetapi perbaikan kompetensi dan akuntabilitas. Sedangkan antitesis bagi
sifat paternalistik adalah dengan menempatkan fungsi pelayanan publik sebagai
pemberdayaan, bukan pemberian. Paradigma baru ini terletak pada kalimat
sederhana, putting people first, menjadikan kepuasan masyarakat sebagai
prioritas utama.
Memprioritaskan
masyarakat, berarti menyesuaikan standar pelayanan berdasarkan kebutuhan
masyarakat. Politik pemerintah akan bermetamorfosis menjadi sistem birokrasi
yang terbuka, dengan keberhasilan kinerja dievaluasi atas dasar harapan dan
kepuasanmasyarakat.
Tantangan terpenting
lain bagi kualitas layanan publik adalah menciptakan budaya pelayanan.
Mereduksi paradigma hubungan horizontal, yang sudah mengakar merupakan proses
perubahan substansial. Ia memerlukan perubahan set mental di kepala setiap
aparatpemerintahan.
BAB III
KESIMPULAN
Penerapan
model demokrasi dalam sistem Pemerintahan Daerah yang sekarang diterapkan belum
mencapai hasil yang diharapkan. Perilaku birokrasi dan kinerja Pemerintah
Daerah belum dapat mewujudkan keinginan dan pilihan publik untuk memperoleh
jasa pelayanan yang memuaskan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Upaya
peningkatan kualitas pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini
dapat dilakukan dengan berbagai strategi, diantaranya : perluasan institusional
dan mekanisme pasar, penerapan manejemen publik modern, dan perluasan makna
demokrasi.
Upaya
ini dapat terwujud apabila terdapat konsistensi dari sikap Pemerintah Daerah
bahwa keberadaannya adalah semata-mata mewakili kepentingan masyarakat di
daerahnya, otonomi adalah diberikan kepada masyarakat. Sehingga keberadannya
harus memberikan pelayanan yang berkualitas untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang memiliki otonomi tersebut. Perangkat birokrasi yang ada baru dapat
memberikan pelayanan publik yang berkualitas apabila kinerjanya selalu
didasarkan pada nilai-nilai etika pelayanan publik. Kualitas pelayanan publik
secara umum ditentukan oleh beberapa aspek, yaitu : sistem, kelembagaan, sumber
daya manusia, dan keuangan. Dalam hal ini pemerintah harus benar-benar memenuhi
keempat aspek tersebut, karena dengan begitu, masyarakat akan ikut
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
DAFTAR
PUSTAKA
Dwiyanto,
Agus. 2003. Reformasi Pelayanan Publik: Apa
yang harus dilakukan?, Policy Brief. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
UGM.
Atep Adya Brata. 2003. Dasar-dasar
Pelayanan Prima. Jakarta: Gramedia.
Lembaga
Administrasi Negara. 2003. Jakarta: Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LAN.