BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejarah panjang perjuangan bangsa
Indonesia telah mencapai puncaknya dengan pengucapan proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia adalah
Negara yang baru lahir sehingga masih rentan dengan penjajahan bangsa asing
maupun pemberontakan bangsa sendiri. Agar kemerdekaan bangsa Indonesia bisa
bertahan, maka diperlukan suatu pemerintahan yang kokoh yang mencerminkan jiwa,
kepribadian bangsa Indonesia.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Demikian bunyi alinea pertama Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945. Pernyataan itu merupakan reaksi terhadap kenyataan
bahwa selama berabad-abad bangsa Indonesia telah dijajah oleh bangsa asing,
yang terakhir adalah pendudukan tentara Jepang. Selama berabad-abad itu pula
bangsa Indonesia melakukan perlawanan dan perjuangan yang gigih tiada hentinya,
untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Maka dengan proklamasi kemerdekaan yang dinyatakan pada tanggal 17
Agustus 1945, terbentuklah Negara Indonesia. Metamorfosis bentuk pemerintahan
sejak Indonesia merdeka telah mencapai paripurna yang ditetapkan bentuk Negara dan
sistem pemerintahan Indonesia. Mengacu pada UUD 1945, dapat diketahui bahwa
Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik dengan
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Hal ini
sebagaimana tertera dalam UUD 1945 pasal I ayat 1 dan 2.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
latar belakang perjuangan kemerdekaaan Indonesia terjadi?
2. Bagaimana
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
latar belakang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
2. Mengetahui
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Perjuangan Kemerdekaaan Indonesia
Perang pasifik semakin
berkecamuk. Tentara sekutu di bawah pimpinan Amerika Serikat semakin mantap,
sementara Jepang mengalami kekalahan dimana-mana. Pasukan Jepang yang berada di
Indonesia bersiap-siap mempertahankan diri. Selama masa pemerintahan Jepang di
Indonesia tahun 1942-1945, Indonesi dibagi dalam dua wilayah kekuasaan, sebagai
berikut:
a. Wilayah
komando angkatan laut yang berpusat di Makasar, meliputi: Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara,
Maluku,
dan Irian Jaya.
b.
Wilayah Komando Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta,
meliputi: Jawa,
Madura,
Sumatra dan
Malaya. Pusat
komando untuk seluruh kawasan Asia Tenggara terdapat di Dalat (Vietnam).
Serangan tentara sekutu
mulai di arahkan ke Indonesia. Setelah menguasai pulau Irian dan pulau Morotai
di Kepulauan Maluku pada tanggal 20 Oktober 1944. Jendral Douglas Mac Arthur,
panglima armada Angkatan Laut Amerika Serikat di Pasifik, menyerbu Kep. Leyte
(Filipina).
Penyerbuan ini adalah
penyerbuan terbesar dalam perang Pasifik. Pada tanggal 25 Oktober 1944, Jendral
Douglas Mac Arthur mendarat di pulau Leyte. Untuk menarik simpati rakayat
Indonesia, Jepang mengizinkan pengibaran bendera Merah Putih di samping bendera
Jepang. Lagu kebangsaan Indonesia Raya boleh dikumandangkan setelah lagu
kebangsaan Jepang Kimigayo.
Pada akhir tahun 1944,
kedudukan Jepang dalam perang Pasifik sudah sangat terdesak. Angkatan perang
Amerika Serikat sudah tiba di daerah Jepang sendiri dan secara teratur mengebom
kota-kota utamanya. Ibukotanya sendiri, Tokyo, boleh dikatakan sudah hancur
menjadi tumpukan puing. Dalam keadaan terjepit, pemerintahan Jepang memberikan
“kemerdekaan” kepada negeri-negeri yang merupakan front terdepan, yakni Birma
dan Filipina. Tetapi kemudian kedua bangsa itu memproklamasikan lagi
kemerdekaannya lepas dari Jepang. Adapun kepada Indonesia, baru diberikan janji
“kemerdekaan” dikelak kemudian hari.
Dengan cara demikian,
Jepang mengharapkan bantuan rakyat Indonesia menghadapi Amerika Serikat apabila
mereka menyerbu Indonesia. Dan saat itu tiba pada pertengahan tahun 1945 ketika
tentara Serikat mendarat di pelabuhan minyak Balikpapan. Dalam keadaan yang
gawat ini, pemimpin pemerintah penduduk Jepang di Jawa membentuk sebuah Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Junbi Cosakai). Badan
itu beranggotakan tokoh-tokoh utama Pergerakan Nasional Indonesia dari segenap
daerah dan aliran, dan meliputi pula Soekarno – Hatta.
Sebagai ketuanya
ditunjuk Dr. Radjiman Wedyodiningrat, seorang nasionalis tua, dengan wakil
ketua, yang seorang dari Indonesia dan yang lain dari orang Jepang. Pada 28 Mei
1945, dilakukan upacara pelantikan anggota Dokuritsu Junbi Cosakai. Sedangkan
persidangan pertama berlangsung pada 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni
1945.
Persidangan pertama
dipusatkan kepada usaha merumuskan dasar filsafat bagi Negara Indonesia
Merdeka. Dalam sidang 29 Mei, Mr. Muh. Yamin didalam pidatonya mengemukakan
lima azas dan dasar Negara kebangsaan Republik Indonesia berikut ini.
1.
Prikebangsaan
2.
Perikemanusiaan
3.
Perike-Tuhanan
4.
Perikerakyatan
5.
Kesejahteraaan Rakyat
Kemudian pada tanggal 1
Juni, Ir. Soekarno mengucapkan pidatonya mengenai dasar filsafat Negara
Indonesia Merdeka yang juga terdiri atas 5 azas, berikut:
1.
Kebangsaan Indonesia
2.
Internasionalisme atau perikemanusiaan
3.
Mufakat atau demokrasi
4.
Kesejahteraan sosial
5.
Ketuhana yang Maha Esa
Ia menambahkan pula nama Pancasila kepada kelima azas itu yang
dikatakannya “atas usul seorang teman ahli bahasa”. Sesudah persidangan pertama
itu, Dokuritsu Junbi Cosakai menunda persidangannya sampai bulan Juli.
Sementara itu, pada 22 Juni 1945, 9 orang anggotanya yaitu: Ir. Soekarno, Drs.
Moh. Hatta, Mr. Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. A. A. Maramis, Abdulkahar
muzakkir, Wachid Hasyim, H. Agus Salim dan Abikusno Tjokro Suyoso membentuk
suatu panitia kecil.
Panitia kecil ini menghasilkan suatu dokumen yang berisi rumusan
azas dan tujuan Negara Indonesia merdeka. Dokumen ini kemudian di kenal dengan
nama “Piagam Jakarta” sesuai dengan penamaan Muh. Yamin. Kemudian pada 7
Agustus 1945, Dokuritsu Junbi Cosakai dibubarkan. Sebagai gantinya, dibentuk
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada 7 Agustus, Ir. Soekarno,
Drs. Moh. Hatta dan Dr. Radjiman dipanggil oleh panglima tertinggi Mandala
Selatan Jepang yang membawahi seluruh Asia Tenggara, yakni Marsekal Darat
Hisaici Terauci ke markas besarnya di Dalat (Vietnam Selatan). Kepada ketiga
pemimpin Indonesia itu, disampaikan oleh Marsekal Terauci bahwa pemerintah
Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Persoalan siapa yang menandatangani proklamasi, Sukarni
mengusulakan agar teks proklamasi sebaiknya di tandatangani oleh Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Usul itupun diterima oleh seluruh hadrin, dan konsep itu kemudian
di ketik oleh Sayuti Melik. Naskah yang telah di ketik oleh Sayuti Melik,
kemudian ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta inilah yang
merupakan naskah proklamasi yang otentik (sejati). Malam itu juga diputuskan
bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dibacakan di tempat kediaman Ir.
Soekarno.
B.
Perjuangan
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Kemerdekaan Indonesia mendapat gangguan dari pihak Belanda. Hal ini
terbukti dengan adanya pasukan Belanda yang ikut membonceng pasukan sekutu.
Belanda ingin menjajah Indonesia kembali. Akan tetapi rakyat berjuang sekuat
tenaga mempertahankan kemerdekaan.
Pada setiap tanggal 10 November biasanya banyak peziarah datang ke
makam-makam pahlawan, baik para pelajar maupun masyarakat dalam memperingati
hari Pahlawan. Peringatan itu sebagai salah satu bentuk penghargaan bangsa
Indonesia terhadap kepahlawanan rakyat Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945
yang merupakan tekad perjuangan seluruh rakyat Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaan. Masih banyak lagi pahlawan-pahlawan kusuma bangsa yang telah rela
berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu bangsa
Indonesia berjuang menggunakan senjata maupun diplomasi untuk mempertahankan
kemerdekaan sehingga tetap menjadi bangsa yang berdaulat.
Salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan adalah perjuangan diplomasi, yakni perjuangan
melalui meja perundingan. Ketika Belanda ingin menanamkan kembali kekuasaannya
di Indonesia temyata selalu mendapat perlawanan dari bangsa Indonesia. Oleh
karena itu pemimpin Sekutu berusaha mempertemukan antara pemimpin Indonesia
dengan Belanda melalui perundingan-perundingan
sebagai berikut :
1.
Pertemuan Soekarno-Van Mook
Pertemuan antara
wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Pang lima
AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945.
Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak
yang berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik
Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk
menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Van Mook mengemukakan pandangannya
mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa Belanda ingin menjalankan untuk
Indonesia menjadi negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki
pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan Belanda.
Pertemuan
ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 1945 bertempat di Markas Besar
Tentara Inggris di Jakarta (Jalan Imam Bonjol No.1). Sebagai pemrakarsa
pertemuan ini, Christison bermaksud mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda
di samping menjelaskan maksud kedatangan tentara Sekutu, akan tetapi pertemuan
ini tidak membawa hasil.
3.
Perundingan Sjahrir - Van Mook
Pertemuan-pertemuan
yang diprakarsai oleh Letnan Jenderal Christison selalu mengalami kegagalan.
Akan tetapi pemerintah Inggris terus berupaya mempertemukan Indonesia dengan
Belanda bahkan ditingkatkan menjadi perundingan. Pada tanggal 10 Februari 1946
perundingan Indonesia-Belanda dimulai. Pada waktu itu Van Mook menyampaikan
pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut.
1)
Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth
berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan
kerajaan Belanda.
2)
Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia
sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.
Selanjutnya pada tanggal
12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai
berikut.
1)
Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat
penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
2)
Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu
dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi
yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
Usul dari pihak
Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya Van Mook
secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa
untuk mengadakan kerjasama dalam rangka pembentukan negara federal dalam
lingkungan Kerajaan Belanda.
Perundingan ini dilaksanakan
pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri Belanda), yang
merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah disepakati Sjahrir
dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah:
1)
Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili
pihak pemerintah RI;
2)
Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof.
Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda.
3)
Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.
Perundingan yang
berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak
konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda
tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan
Sumatra tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang
diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan
Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul
bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
Walaupun
Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya
bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia
memandang bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah
Inggris mengirim Lord Killearn. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn
berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja
perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di
Jakarta. Dalam perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai
kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord
Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:
1)
Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan
militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
2)
Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata
untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam
mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda
diadakanlah Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10
November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin
oleh Prof. Scermerhorn, sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana
Menteri Sjahrir. Sedangkan sebagai penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris
istimewa Inggris untuk Asia Tenggara. Hasil Perundingan Linggajati
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana
Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut.
1) Belanda mengakui secara
de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera,
Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat
tanggal 1 Januari 1949.
2) Republik Indonesia dan
Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama
Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik
Indonesia.
3) Republik Indonesia
Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda
sebagai ketuanya.
Meskipun
isi perundingan Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia
dengan Belanda, akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional
kuat karena Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto.
Perbedaan
penafsiran mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya
Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21
Juli 1947. Atas prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan
antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan. Perundingan ini
dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS
Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan dimulai pada
tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia mengirimkan delegasi yang
dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh R.
Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Hasil
perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang
intinya sebagai berikut.
1)
Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia
Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui
Negara Indonesia Serikat (NIS).
2)
Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai
penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya
bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.
3)
Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau
menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.
Akibat dari perundingan
Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan
Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia menandatangani
perjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya adalah karena persediaan
amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti belanda akan
menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan bahwa Dewan
Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara akan
dimenangkan pihak Indonesia.
7.
Persetujuan Roem-Royen
Ketika
Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia
mempunyai pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia
berpendirian bahwa di Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan
pemerintah kolonial dengan tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18
Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville
dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember
1948 dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan
peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for
Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan
perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei
1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku
ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.
1)
Pernyataan Mr. Moh Roem.
a.
Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik
yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b.
Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian
dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c.
Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den
Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang
sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak
bersyarat.
2) Pernyataan
Dr. Van Royen
a.
Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik
Indonesia ke Yogyakarta.
b.
Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan
pembebasan semua tahanan politik.
c.
Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara
yang berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948
dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
d.
Adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari
Negara Indonesia Serikat.
e.
dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja
Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
8.
Konferensi Meja Bundar (KMB)
Salah
satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter - Indonesia antara
wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg)
atau Pertemuan Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali
yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2
Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini
ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatanikatan politik
ataupun ekonomi. Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah
Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana
Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO
di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Be1anda dipimpin
Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley.
Pada tanggal 2 November
1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari persetujuan KMB adalah
sebagai berikut.
1.
Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada
akhir bulan Desember 1949.
2.
Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah
pengakuan kedaulatan.
3.
Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni
Indonesia - Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4.
Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5.
Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai
intinya.
Dari hasil KMB itu
dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui kedaulatannya
oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah
penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Pihak Belanda
ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri
Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh
Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX
dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink menandatangani naskah pengakuan
kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini maka Indonesia
berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni Republik
Indonesia Serikat (RIS).
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian dari makalai ini, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai
kemerdekaan, Indonesia harus menunggu lama. Salah satu usahanya adalah dengan
membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Junbi
Cosakai).
Setelah mendapatkan kemerdekaan, Indonesia
harus memperjuangkan kemerdekaanya dari gangguan belanda. Salah
satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah
perjuangan diplomasi, yakni perjuangan melalui meja perundingan. Diantaranya:
1.
Pertemuan Soekarno-Van Mook
2.
Pertemuan Sjahrir-Van Mook
3.
Perundingan Sjahrir - Van Mook
4.
Perundingan di Hooge Veluwe
5.
Perundingan Linggajati
6.
Perundingan Renville
7.
Persetujuan Roem-Royen
8.
Konferensi Meja Bundar (KMB)
B.
Saran
dan Kritik
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi
yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan
dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca khususnya guru
dan teman-teman untuk dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rokhim Ashari, Abdul. (2013). Usaha Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, [Online]. Tersedia: http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_3._ USAHA_PERJUANGAN_MEMPERTAHANKAN_KEMERDEKAAN_INDONESIA. [06 September 2013]
Wikipedia. (2007). Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
[Online]. Tersedia: http://id.wiki
pedia.org/wiki/Kemerdekaan_Indonesia .[06 September 2013]
Farhad Al Farizi, Boedi. (2012). Makalah Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia, [Online]. Tersedia: http://sejarah.kompasiana.com/2012/04/24/makalah-sejarah-perjuangan-kemerdekaan-indonesia-457876.html.
[06 September
2013]
No comments:
Post a Comment