I.
Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad S.A.W
Nabi Muhammad SAW dilahirkan
di kota Mekkah, pada hari senin, tanggal 12 Robiul Awal/bulan mulud, tahun
Gajah, bertepatan dengan tanggal 20 April 571 Masehi. Dilahirkan dirumah
pamannya Abu Thalib dalam keadaan yatim, karena ayahnya Abdullah bin Abdul
Muthalib telah meninggal dunia 7 bulan sebelum Nabi Muhammad dilahirkan. Ibunya
bernama Aminah binti Wahab berasal dari kotaMadinah.
Kakeknya Abdul Muthalib sangat gembira ketika
mendengar kelahiran cucunya, kemudian beliau membawa cucunya thawaf
mengelilingi ka’bah dan dibawa masuk kedalamnya, lalu diberi nama Muhammad,
yang artinya terpuji.
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, datang pasukan bergajah dari Negeri
Yaman yang dipimpin oleh Abrahah, ingin menghancurkan ka’bah, sehingga tahun
kelahiran Nabi Muhammad SAW dinamakan tahun Gajah. Ketika pasukan gajah
memasuki kota Mekkah, dipertengahan jalan mereka diserang oleh serombongan
burung Ababil yang diutus Allah SWT, masing-masing burung membawa tiga batu,
satu batu diparuhnya dan dua batu dikakinya, kemudian batu itu dijatuhkan
kepasukan Abrahah, hancurlah pasukan Abrahah, selamatlah ka’bah dari kehancuan
atas pertolongan Allah SWT. Nabi Muhammad SAW adalah keturunan suku Quraisy
yang sangat berpengaruh dikota Mekkah bahkan diseluruh Jazirah Arab.
A.
Muhammad di bawah Asuhan Halimah
Kebiasaan bangsa
Arab menyusukan anak-anak diserahkan anak-anaknya diserahkan kepada
wanita-wanita desa di desanya agar menjadi anak yang cerdas, karena lingkungan
sekitarnya dan udaranya masih segar.
Wanita Bani
Sa'ad terkenal sebagai pengasuh dan penyusuan anak-anak kota. Datanglah Halimah
binti Sa'diyah ke rumah Aminah, agar dapat menyusukan Muhammad. Aminah pun
kemudian menyerahkan Muhammad kepada Halimah Sa'diyah, selama sebelumnya tiga
hari disusukan oleh Aminah sendiri.
Kasih sayang
Halimah Sa'diyah kepada Muhammad sama dengan kasih sayang yang diberikan kepada
anak-anaknya sendiri, bahkan Muhammad lebih dicintai.
Untuk
menghilangkan rasa rindu Aminah kepada anaknya beliau sering berkunjung ke
rumah Halimah Sa'diyah. Begitu Halimah Sa'diyah setiap kali berkunjung ke
Makkah tak lupa membawa Muihammad.
Selama empat
tahun dalam asuhan Halimah Sa'diyah, dengan berat hati, Muhammad dikembalikan
ke pangkuan ibunya di kota Makkah.
B.
Muhammad di bawah asuhan ibu dan kakeknya
Setelah Halimah Sa'diyah mengembalikan Muhammad kepada ibunya, maka mulai saat itu Muhammad berada di tengah-tengah keluarga.
Ibunya langsung
mendidik dan mengasuh Muhammad dengan kasih sayang.
Tatkala Muhammad
berusia 6 tahun.ia dibawa oleh ibunya ke Yatsrib (Madinah) untuk berziarah ke
kuburan ayahnya dan mengunjungi sanak saudaranya.
Dalam perjalanan
ke Madinah itu, Ummu Aiman pembantu yang setia ikut serta. Setelah kembali dari
Madinah, dalam perjalanan menuju Makkah, di sebuah desa yang bernama Abwa,
tiba-tiba ibunya jatuh sakit. Kemudian mereka beristirahat beberapa hari di
sana. Dengan kekuasaan Allah, akhirnya ibunya meninggal dunia dan dimakamkan
disana.
Kini Muhammad
telah yatim piatu. Beberapa hari kemudian, setelah ibunya dimakamkan, Ummu
Aiman dan Muhammad kembali ke Makkah, sesampainya di Makkah, Ummu Aiman
menceritakan peristiwa meninggalnya Aminah kepada keluarga Abdul Muthalib.
Kemudian Muhammad diserahkan kepada kakeknya.
Sebagai pembantu
rumah tangga yang setia, Ummu Aiman tetap mengasuh Muhammad sampai dewasa.
Abdul Muthalib mengasuhnya dengan penuh kasih sayang.
C.
Muhammad di bawah asuhan pamannya Abu Thalib
Abdul Muthalib,
kakek Muhammad adalah seorang pemimpin di kota Makkah dan di kalangan suku Quraisy.
Tetapi sayang,
kakeknya tidak lama mengasuh Muhammad. Kakeknya yang mulia itu meninggal saat
Muhammad berusia 8 tahun.
Selanjutnya
Muhammad diasuh oleh pamannya Abu Thalib mengambil alih tanggung jawab untuk
mengasuh Muhammad. Abu Thalib sangat menyayangi Muhammad seperti anaknya
sendiri dan Abu Thalib juga melindungi Muhammad dari ancaman orang-orang
Quraisy Jahiliyah.
Pekerjaan Abu
Thalib adalah berdagang ke Syam. Ia adalah orang yang sangat disegani dan
dihormati di kalangan suku Quraisy.
Berkat lindungan
Allah SWT dan asuhan Halimah, Aminah ibunya, Abdul Muthalib kakeknya serta
pamannya Abu Thalib dan bibinya Aminah binti Asad, tertanamlah sifat-sifat
terpuji pada diri Nabi Muhammad Saw.
Sejak kecil
beliau selalu giat bekerja, sabar dalam menghadapi cobaan, jujur dalam
perbuatan, sopan santun dan lemah lembut dalam perkataan.
Kehidupan Nabi
Muhammad penuh dengan kesederhanaan, suka memaafkan kesalahan orang, murah hati
terhadap sesama kawan, tidak sombong dan tidak gila hormat.
Dalam pergaulan,
Nabi Muhammad tidak pernah menyakiti orang lain, segala perbuatannya selalu
terpuji tidak pernah berbuat maksiat, apalagi menyembah berhala.
Allah melindungi
dan menjaga kesucian beliau sebagai manusia yang akan memikul tugas suci yang
besar di dunia.
Pada suatu hari
ketika Nabi Muhammad dan anak-anak Halimah sedang mengembala kambing, tiba-tiba
datang dua Malaikat berbaju putih memegang Nabi Muhammad, lalu membaringkan dan
membelah dada Nabi Muhammad, membuang sifat yang kotor dan menggantikan dengan
sifat yang bersih. Setelah itu mereka meninggalkan Nabi Muhammad yang masih
berbaring. Melihat peristiwa itu, anak-anak Halimah berlari memberi tahu
ibunya.
Halimah dan
suaminya datang menghampiri Nabi Muhammad, menanyakan peristiwa yang baru
dialami, Nabi Muhammad menceritakan peristiwa tersebut dari awal sampai akhir
pada mereka.
Setelah kejadian
itu Halimah dan suaminya sangat khawatir akan keselamatan Nabi Muhammad. Oleh
sebab itu maka beliau kembalikan pada ibunya, sambil menceritakan tentang
kejadian yang pernah dialaminya. Setelah mendengar cerita Halimah, Aminah
bertanya: "Apa kalian khawatir kalau-kalau diganggu setan?" Halimah
menjawab: "Ya, benar". Aminah bertanya lagi: "Tidak demi Allah,
setan tidak akan mengganggunya. Anak ini kelak akan menjadi manusia besar!
Maukah kalian mendengar ceritanya?" Halimah menjawab: "Ya".
Aminah segera melanjutkan ceritanya: "Ketahuilah, ketika ia masih di dalam
kandunganku, aku melihat cahaya terang benderang keluar dari diriku menyinari
istana-istana Bushra di Negeri Syam. Demi Allah selama aku hamil aku tidak
merasa sangat berat. Tidak ada wanita hamil yang merasa seringan dan semudah
yang kurasakan. Ketika lahir ia meletakkan telapak tangannya ke tanah, sedang
kepalanya menengadah ke langit".
II. Kisah Cinta Khadijah dan Rasulullah SAW
Siapakah Khadijah? Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya.
A. Bermimpi melihat matahari turun kerumahnya.
Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.” “Nabi itu berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh. “Dari kota Makkah ini!” ujar Waraqah singkat. “Dari suku mana?” “Dari suku Quraisy juga.” Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?” “Dari keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur. Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir: “Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?” Orang tua itu mempertegas: “Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!”
Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.
B. Lamaran dari khadijah kepada Rasulullah s.a.w
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata
Khadijah: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” (Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya)
Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.
Muhammad SAW: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”
(Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban)
Khadijah: “Oh, itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,”. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu”.(Ia berhenti sejenak, meneliti).
Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat
Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”.
khadijah (Khadijah tertunduk lalu melanjutkan): “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.
Rasulullah SAW minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya.
Rasulullah SAW: “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”.
‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah:
Khadijah : “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya; kalau tidak,aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius. “Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum cobalah meminta persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.
‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah “Itu bagus sekali”, kata Abu Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu.”
Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah itu bertanya:
Nafisah : “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
Nafisah “Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?”
Rasulullah SAW: “Siapakah dia?” tanya Muhammad SAW.
Nafisah : “Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”
Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW menerimapemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu.
Hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempoh untuk berunding dengan wanita yang berkenaan.
C. Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”. “Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah. “Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas kawin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan “Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad.
Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar. “Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat. “Semoga Allah memberkati pernikahan ini”. Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau redhai !”
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa: 8)
Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
D. Dijamin Masuk Surga
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai karena kematian. Tahun wafatnya disebut “Tahun Kesedihan” (‘Aamul Huzni).
Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW. ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama yang disampaikan Jibril ‘alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil berkata:
“Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang menguasai diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi umat kita. “Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang senantiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah engkau selalu berkata benar? Bukankah engkau senantiasa menyantuni anak yatim piatu, menghormati tamu dan mengulurkan bantuan kepada setiap orang yang ditimpa kemalangan dan musibah?”
Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy. Layaklah kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah SWT. yang disampaikan oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW. disertai salam dari Jibril a.s peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah radiallahu ‘anha serta dihiburnya dengan syurga.
Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas. Nabi SAW pernah berkata: “Wanita yang utama dan yang pertama akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW., Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir’aun”.
E. Wanita Terbaik
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW. terhadap peribadi Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam kebimbanga, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.
Putera-puteri Rasulullah SAW. dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat wanita. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua pasangan inilah yang dianggap sebagai keturunan langsung dari Rasulullah SAW.
F. Perjuangan Khadijah
Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan dari kaum lelaki Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua wanita itu berdiri di belakang da’wah Islamiah, mendukung dan bekerja keras mengabdi kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid dan Fatimah binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di dunia. Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia adalah Ummul Mu’minin, sebaik-baik isteri dan teladan yang baik bagi mereka yang mengikuti teladannya.
Khadijah menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi SAW sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung di Gua Hira’. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman kepadanya ketika Nabi SAW berdoa (memohon) kepada Tuhannya. Khadijah adalah sebaik-baik wanita yang menolongnya dengan jiwa, harta dan keluarga. Peri hidupnya harum, kehidupannya penuh dengan kebajikan dan jiwanya sarat dengan kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa.”
Kenapa kita bersusah payah mencari teladan di sana-sini, padahal di hadapan kita ada “wanita terbaik di dunia,” Khadijah binti Khuwailid, Ummul Mu’minin yang setia dan taat, yang bergaul secara baik dengan suami dan membantunya di waktu berkhalwat sebelum diangkat menjadi Nabi dan meneguhkan serta membenarkannya.
Khadijah mendahului semua orang dalam beriman kepada risalahnya, dan membantu beliau serta kaum Muslimin dengan jiwa, harta dan keluarga. Maka Allah SWT membalas jasanya terhadap agama dan Nabi-Nya dengan sebaik-baik balasan dan memberinya kesenangan dan kenikmatan di dalam istananya, sebagaimana yang diceritakan Nabi SAW, kepadanya pada masa hidupnya.
Ketika Jibril A.S. datang kepada Nabi SAW, dia berkata :”Wahai, Rasulullah, inilah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah dan makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya dan tidak ada kepayahan.” [HR. Bukhari dalam "Fadhaail Ashhaabin Nabi SAW. Imam Adz-Dzahabi berkata:"Keshahihannya telah disepakati."]
Bukankah istana ini lebih baik daripada istana-istana di dunia, hai, orang-orang yang terpedaya oleh dunia ? Sayidah Khadijah r.a. adalah wanita pertama yang bergabung dengan rombongan orang Mu’min yang orang pertama yang beriman kepada Allah di bumi sesudah Nabi SAW. Khadijah r.a. membawa panji bersama Rasulullah SAW sejak saat pertama, berjihad dan bekerja keras. Dia habiskan kekayaannya dan memusuhi kaumnya. Dia berdiri di belakang suami dan Nabinya hingga nafas terakhir, dan patut menjadi teladan tertinggi bagi para wanita.
Betapa tidak, karena Khadijah r.a. adalah pendukung Nabi SAW sejak awal kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya pertama kali di sebuah gua di dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat-ayat Kitab yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian dia menampakkan diri di jalannya, antara langit dan bumi. Dia tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri sehingga Nabi SAW melihatnya, lalu dia berhenti, tidak maju dan tidak mundur. Semua itu terjadi ketika Nabi SAW berada di antara jalan-jalan gunung dalam keadaan kesepian, tiada penghibur, teman, pembantu maupun penolong.
Nabi SAW tetap dalam sikap yang demikian itu hingga malaikat meninggalkannya. Kemudian, beliau pergi kepada Khadijah dalam keadaan takut akibat yang didengar dan dilihatnya. Ketika melihatnya, Khadijah berkata :”Dari mana engkau, wahai, Abal Qasim ? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa utusan untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah, kemudian kembali kepadaku.” Maka Rasulullah SAW menceritakan kisahnya kepada Khadijah r.a.
Khadijah r.a. berkata :”Gembiralah dan teguhlah, wahai, putera pamanku. Demi Allah yang menguasai nyawaku, sungguh aku berharap engkau menjadi Nabi umat ini.” Nabi SAW tidak mendapatkan darinya, kecuali pe neguhan bagi hatinya, penggembiraan bagi dirinya dan dukungan bagi urusannya. Nabi SAW tidak pernah mendapatkan darinya sesuatu yang menyedihkan, baik berupa penolakan, pendustaan, ejekan terhadapnya atau penghindaran darinya. Akan tetapi Khadijah melapangkan dadanya, melenyapkan kesedihan, mendinginkan hati dan meringankan urusannya. Demikian hendaknya wanita ideal.
Itulah
dia, Khadijah r.a., yang Allah SWT telah mengirim salam kepadanya. Maka
turunlah Jibril A.S. menyampaikan salam itu kepada Rasul SAW seraya berkata kepadanya
:”Sampaikan kepada Khadijah salam dari Tuhannya. Kemudian Rasulullah SAW
bersabda :”Wahai Khadijah, ini Jibril menyampaikan salam kepadamu dari
Tuhanmu.” Maka Khadijah r.a. menjawab :”Allah yang menurunkan salam
(kesejahteraan), dari-Nya berasal salam (kesejahteraan), dan kepada Jibril
semoga diberikan salam (kesejahteraan).”
Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang tidak diperoleh seorang pun di antara para shahabat yang terdahulu dan pertama masuk Islam serta khulafaur rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a. pada saat pertama lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang mendukung da’wah itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah r.a. merupakan nikmat Allah yang besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolongnya di waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalahnya, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad dan menolong- nya dengan jiwa dan hartanya.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam "Musnad"-nya, 6/118]
Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :”Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu berkata :”Wahai, Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dari Tuhan-nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga, (terbuat) dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.” [Shahih Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan Keutamaannya]
Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang tidak diperoleh seorang pun di antara para shahabat yang terdahulu dan pertama masuk Islam serta khulafaur rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a. pada saat pertama lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang mendukung da’wah itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah r.a. merupakan nikmat Allah yang besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolongnya di waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalahnya, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad dan menolong- nya dengan jiwa dan hartanya.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam "Musnad"-nya, 6/118]
Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :”Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu berkata :”Wahai, Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dari Tuhan-nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga, (terbuat) dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.” [Shahih Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan Keutamaannya]
III. Sebelum Wahyu Turun
Apa yang menarik sebelum wahyu turun kepada Nabi Muhammad saw? Kejadian apa yang perlu mendapat catatan penting seputar turunnya wahyu yang pertama? Pertanyaan tersebut penting untuk dikemukakan, mengingat wahyu pertama adalah saat “peresmian” kerasulan Muhammad saw.
A. Mimpi Kebenaran
Enam bulan sebelum wahyu pertama turun, Nabi Muhammad saw. selalu mendapat mimpi-mimpi. Aisyah r.a. memberi keterangan, “Yang pertama sekali mendahului kedatangan wahyu kepada Rasulullah saw. adalah mimpi-mimpi yang benar. Setiap mimpi beliau selalu terbukti (kebenarannya) secara nyata, seterang cahaya di pagi hari. Setelah itu beliau terdorong untuk menyendiri (bersemedi), bertempat di Gua Hira untuk beribadah beberapa malam dan kembali lagi kepada keluarganya untuk mengambil bekal bersemedi berikutnya. Hingga suatu ketika datang kepada beliau Al Haqq, kebenaran Mutlak, yaitu dengan datangnya malaikat yang menyampaikan “Igra’ dan seterusnya.” (HR Imam Bukhari)
Mengapa Nabi Muhammad saw. sering mendapatkan mimpi sebelum menerima wahyu pertama? Menurut para psikolog Muslim, mimpi-mimpi itu dimaksudkan untuk meyakinkan Nabi Muhammad saw. akan adanya informasi yang benar dan yang dapat diperoleh manusia melalui cara yang tidak biasa atau dengan kata lain adanya yang dinamai Divine Revelation. Karena, mimpi merupakan salah satu cara Tuhan untuk memberikan informasi kepada manusia, sebagaimana mimpi-mimpi Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Yusuf a.s. (baca surah Yusuf dan As-Shafat 102-103).
Beberapa waktu menjelang turunnya wahyu yang pertama, Nabi Muhammad saw. sering kali mendengar suara yang berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah pesuruh Allah (Rasulullah) yang benar.” Dan ketika beliau mengarahkan pandangan mencari sumber suara itu, beliau mendapati seluruh penjuru telah dipenuhi oleh cahaya yang gemerlap dan hal ini mencemaskan beliau sehingga dengan tergesa-gesa beliau menemui istri tercinta, Khadijah. Khadijah menyarankan beliau menemui Waraqah bin naufal, seorang tua yang mempunyai pengetahuan tentang agama-agama terdahulu. Dalam pertemuan tersebut terjadilah dialog. “Dari mana engkau mendengar suara tersebut?” Tanya Waraqah. “Dari atas,” jawab Nabi. Waraqah berkata lagi, “Yakinlah bahwa suara itu bukan suara setan, karena setan tidak akan mampu datang dari arah atas, tidak pula dari arah bawah. Suara itu adalah suara dari malaikat.” [M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al- Karim – Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Pustaka Hidaya. Jakarta: 1997]
Dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 17 menyebutkan sumpah iblis untuk mengoda manusia dari empat penjuru: muka, belakang, kanan, dan kiri, tanpa menyebutkan arah atas atau bawah. Arah atas diartikan oleh sebagian ulama sebagai arah ketinggian dan keagungan Tuhan serta rahmat-Nya. Arah bawah sebagai lambang kerendahan dan ketaatan manusia dalam memperhambakan diri kepada-Nya. Seseorang tidal akan terkecoh dan dipengaruhi oleh rayuan setan selama ia menengadah ke atas mengakui kemahaagungan Allah SWT atau sujud di tanah mengakui kelemahan dan kebutuhan kepada Zat Yang Mahatinggi itu.
B. Menyendiri di Hira
Sejarah mencatat
bahwa sebelum menerima wahyu pertama Nabi Muhammad saw. punya kebiasaan untuk
melakukan tahannuf atau tahannuth (berasal dari kata hanif yang berarti
‘cenderung kepada kebenaran’), yaitu kebiasaan mengasingkan diri dari keramaain
orang. Dalam ber-tahannuth itu Nabi Muhammad saw. berkhalwat dan mendekatkan
diri kepada Tuhan dengan bertapa dan berdoa. Dengan tahannuth beliau melakukan
perenungan tentang alam dan kekuatan besar yang ada di baliknya. Beliau juga
memberi makan orang-orang miskin yang datang kepadanya. Initnya beliau dalam
proses pencarian kebenaran.
Apa yang menarik dari perilaku menyendiri beliau di Gua Hira’ itu? Pertama,
kata kuncinya adalah “jiwa suci”. Wahyu, Nur Ilahi, atau ilham baru bisa
didapat oleh orang yang jiwanya telah suci. Kedua, “jiwa suci” baru didapatkan
seseorang jika ia mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketiga, mendekatkan diri
kepada Tuhan baru bisa dilakukan jika seseorang “menjauhi” hiruk-pikuk
kebendaan.
C.Kematangan Usia
Sejarah mencatat, bahwa saat menerima wahyu usia beliau mencapai empat puluh tahun. Apa maknanya? Usia empat puluh tahun adalah puncak kematangan seseorang. Oleh karena itu, konon, para rasul diutus pada usia tersebut.
Kematangan usia ini didukung pula oleh kematangan pribadi yang telah diuji oleh terbentuknya keluarga yang telah dijalani beliau sejak usia dua puluh lima tahun, dengan mempersunting Khadijah dan kemudian dikaruniai anak-anak. Apa maknanya? Pertama, seorang bisa dikatakan matang (untuk memimpin), jika ia sudah teruji dalam kepemimpinan di keluarga. Bagaimana ia akan memimpin umat; memimpin dunia, jika ia belum teruji dalam kepemimpinan keluarga. Kedua, keluarga adalah miniatur masyarakat. Seorang pemimpin akan menjadi contoh mansyarakat tentang kehidupan yang baik. Bagaimana ia akan berbicara tentang istri shalehah, jika ia tidak beristri (sebagaimana konsep tidak kawinnya pendeta, pastur, kardinal, paus dalam tradisi Katholik). Sulit pula diterima akal jika seorang berbicara tentang pendidikan anak tanpa ia sendiri pernah melakukannya secara real.
Dalam perjalanan penerimaan wahyu, kita juga akan menemukan betapa peran penting Khadijah ketika Nabi Muhammad saw. sedang “terkejut” saat menerima wahyu. Khadijah yang menghibur dan memberikan alternatif penyelesaian masalah dengan memberi saran untuk bertanya pada Waraqah bin Naufal. Ini sekaligus memberi makan ketiga, bahwa dalam memperjuangkan risalah peran pendamping (suami/istri) memegang peranan penting.
IV. Setelah Mendapat Wahyu
A. Dakwah
Nabi Muhammad untuk Menyempurnakan Akhlak Manusia
Setelah Nabi Miuhammad SAW menerima wahyu, maka secara resmi beliau telah diangkat menjadi Rasul oleh Allah SWT. Beliau mempunyai kewajiban untuk membina umat yang telah berada dalam kesesatan untuk menuju jalan yang lurus. Dakwah Nabi Muhammad SAW dimulai dari wilayah Makkah di jazirah Arab, walaupun pada akhirnya ajaran beliau adalah untuk seluruh umat manusia. Jauh sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW, sebenarnya Allah SWT juga telah mengutus nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. Kedua Rasul ini telahberhasil membina bangsa Arab dan masyarakat makkah menjadi orang yang beriman dan henya menyembah kepada Allah SWT. Bahkan kedua Rasul tersebut juga diperintah Allah SWT untuk membangun Ka’bah di Makkah. Namun dengan berjalanya waktu, keimanan masyarakat Makkah menjadi luntur dan berubah menjadi kemusyrikan dengan menyembah patung dan berhala. Mereka tidak hanya mengalami kerusakan dalam hal aqidah, bahkan akhlaknya juga rusak.
Nabi Muhammad
SAW sebagai rasul tidak henti-hentinya berusaha memperbaiki akhlak masyarakat
yang sudah rusak tersebut. Untuk memperbaiki akhlak, maka Allah SWT telah
mengutus rasul yang memang semenjak kecil dikenal oleh masyarakat sebagai orang
yang sangat mulia akhlaknya. Sejak masih kecil, remaja, sampai dewasa Nabi
Muhammad sudah dikenal oleh masayarakat Makkah sebagai orang yang mempunyai
kepribadian baik, berbeda dengan kebanyakan orang saat itu. Penampilannya pun
sederhana, bersahaja, dan berwibawa. Ketika ia berjalan badannya agak condong
kedepan, melangkah sigap dan pasti. Raut mukanya menunjukkan pikirannya yang
cerdas, tajam, dan jernih. Pandangan matanya menunjukkan keteduhan dan
kewibawaan, membuatorang patuh kepadanya. Ia juga dikenal sebagai orang yang
jujur dalam setiap perkataan maupun perbuatan. Dengan sifatnya yang demikian
itu tidak heran bila Khadijah, majikannya menaruh simpati kepadanya, dan tidak
pula mengherankan bila Muhammad diberi keleluasaan mengurus hartanya. Khadijah
juga membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan menuangkan hasil
pemikirannya. Akhirnya Muhammad dan Khadijah menikah menjadi sepasang suami
istri yang sangat setia dan memiliki anak-anak yang shalih.
Muhammad
mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah, mereka berada sdalam
kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Makkah
memandangnya dengan rasa segan dan hormat. Mereka mensyukuri karunia Tuhan yang
diberikan kepadanya serta anak dan keturunan yang baik. Semua itu tidak
mengurangi pergaulannya dengan penduduk Makkah baik yang kaya maupun yang
miskin. Dalam kehidupan hari-hari, Muhammad bergaul baik dengan masyarakat
sekitar. Bahkan setelah menikah dengan Khadijah ia lebih dihormati di
tengah-tengah masyarakat. Dengan dihormati orang Muhammad tidak menjadi tinggi
hati, namun ia menjadi semakin rendah hati. Bila ada yang mengajaknya bicara ia
mendengarkan dan memperhatikannya tanpa menoleh kepada orang lain. Perilakunya
yang demikian sangat berbeda dengan kebanyakan orang Makkah yang menjadi
sombong dan congkak ketika dihormati, dan marah-marah ketika merasa tidak
dihormati. Muhammad juga bukan termasuk orang yang suka mengobral perkataan, ia
berkata seperlunya, dan ia lebih banyak mendengarkan. Bila bicara selalu
bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu ia sesekali membuat humor dan
bersenda-gurau. Sifatnya yang jujur tersebut juga sangat berbeda dengan
kebanyakan orang Makkah yang suka berbohong, membual, dan sulit dipercaya.
Setiap bertemu orang Muhammad selalu tersenyum. Pada saat-saat tertentu juga
bercanda dan terkadang tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak
pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit
berkeringat, hal ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau
menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang
dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Ia Bijaksana, murah hati dan
mudah bergaul. Tapi ia juga mempunyai tujuan pasti, berkemauan kuat, tegas dan
tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam
dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang
bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul
rasa hormat, dan bagi orang yang terbiasa bergaul dengannya akan timbul rasa
cinta kepadanya.
Muhammad
menjalin hubungan baik kepada penduduk Makkah. Ia juga berpartisipasi dalam
kegiatan sosial dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat
sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung kemudian
menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuh. Sebelum
itupun masyarakat suku Quraisy memang sudah memikirkannya. Ka’bah yang tidak
beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di
dalamnya. Hanya saja masyarakat suku Quraisy merasa takut kalau bangunannya
diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi atap, dewa Ka’bah yang suci itu akan
menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliyyah keadaan mereka
diliputi oleh berbagai macam legenda yang mengancam bagi siapapun yang berani
mengadakan sesuatu perubahan terhadap Ka’bah. Dengan demikian perbuatan itu
dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami
bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih
diliputi rasa takut dan ragu-ragu. Bertepatan dengan kejadian itu, kapal milik
seorang pedagang Romawi bernama Baqum yang datang dari Mesir terhempas di laut
dan pecah. Sebenarnya Baqum adalah seorang ahli bangunan yang mengetahui
masalah perdagangan. Sesudah suku Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah
al-Walid bin al-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy ke Jeddah menemui
Baqum. Kapal itu kemudian dibelinya, kemudian diajaknya berunding supaya
sama-sama datang ke Makkah guna membantu mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum
menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Makkah ada seorang Kopti yang
mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan
bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut
Ka’bah oleh suku Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut
yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan
perombakan itu mereka masih ragu-ragu dan khawatir akan mendapat bencana.
Kemudian al-Walid bin al-Mughira tampil ke depan dengan merasa sedikit takut.
Setelah berdoa kepada dewa-dewanya, ia mulai merombak bagian sudut selatan.
Orang-orang menunggu apa yang akan dilakukan Tuhan terhadap al-Walid. Tetapi
setelah sampai pagi hari tak terjadi apa-apa, mereka pun beramai-ramai
merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Muhammad pun ikut dalam kerja
bakti itu.
Sesudah bangunan
itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang
disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di
kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu
pada tempatnya semula. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir
saja timbul perang saudara. Keluarga Abdud Dar dan keluarga ‘Adi bersepakat
takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang
besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abdud Dar
membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu
guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La’aqatud Dam, yakni
‘jilatan darah.’ Abu Umayyah bin al-Mughira dari Bani Makhzum, adalah orang
yang tertua di antara mereka. Ia dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan
serupa itu ia berkata kepada mereka:
"Serahkanlah
putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa
ini."
Tatkala mereka
melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru:
"Ini al-Amin (orang yang terpercaya) ; kami dapat menerima
keputusannya." Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepada Muhammad.
Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api
permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: "Kemarikan sehelai
kain," katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu
itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya;
"Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini." Mereka
bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu
Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan
demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan. Quraisy
menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter),
dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau
melarang orang masuk. Di dalam Ka’bah itu mereka membuat enam batang tiang
dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik
sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat
itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi
beratap menjadi sasaran pencurian.
Kejadian ini
berlangsung saat Muhammad berusia 35 tahun, dan keputusannya mengambil batu dan
diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya
dalam Ka’bah, menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Makkah,
betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Pada tahun 611 M, waktu itu Muhammad berusia 40 tahun beliau menerima wahyu
yang pertama. Di puncak Gunung Hira, – sejauh dua farsakh sebelah utara Makkah
– terletak sebuah gua yang sangat kondusif untuk tempat menyendiri
(berkhalwat). Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun Muhammad pergi ke sana dan
berdiam di tempat itu. Ia tekun dalam merenung dan beribadah, menjauhkan diri
dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran tentang
keberadaan Tuhan dan merenungkan keboborokan perilaku sehari-hari masyarakat
Arab saat itu. Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu,
sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup
ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah
suatu kebenaran.
Ia merenung
untuk mencari jawaban mengenai perilaku masyarakat dalam masalah-masalah hidup.
Apa yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, bukanlah
sesuatu yang dapat dibenarkan menurut rasio dan nurani yang jernih.
Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula
mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang
ditimpa bahaya tidak selayaknya dipuja dan disembah. Hubal, Lata dan ‘Uzza, dan
semua patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar
Ka’bah, tak pernah menciptakan seekor lalat sekalipun, atau akan mendatangkan
suatu kebaikan bagi Makkah. Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah
tersesat, jauh dari kebenaran.Keyakinan mereka terhadap keberadaan Tuhan telah
rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan
semacamnya. Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan
selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha
Rahman dan Maha Rahim.
Kebenaran itu
ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. "Barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa
mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula." (Qur’an,
99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan neraka juga benar adanya. Mereka
yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal
dan kediaman yang paling durhaka. Tatkala ia sedang bertahanuth, ketika itulah
datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya:
"Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat
membaca". Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan
lagi seraya katanya lagi: "Bacalah!" Masih dalam ketakutan akan
dicekik lagi Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya baca."
Seterusnya
malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah.
Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya
…" Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata
itu terpateri dalam kalbunya.
Setelah menerima
wahyu yang pertama itu maka Muhammad menjadi seorang utusan (rasul), sehingga
dia mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ajaran Allah SWT kepada umat
manusia. Setelah menjadi rasul, maka sifat-sifat mulia yang dimilikinya tdak
hanya dimilikinya sendiri, namun dia harus mengajarkan dan memberi teladan
kepada umat manusia untuk berakhlak yang mulia. Nabi Muhammad bersabda :
Artinya :
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak)” (HR Ahmad).
Artinya :
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya.
Kepada-Nyalah
naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. (QS
Fathir : 10)
Nabi Muhammad
mengajarkan bahwa kemuliaan manusia tidak diukur dari harta, keturunan, suku,
keindahan tubuh, kekuatan, maupun pangkat dan jabatannya dalam masyarakat.
Namun kemuliaan
manusia terletak pada ketaatannya kepada Allah SWT dan kemuliaan akhlaknya,
baik berupa sikap, perkataan, maupun perbuatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Padahal ketika itu masayarakat Arab sangat menonjolkan keturunan dan sukunya.
Mereka sering berselisih, bertengkar bahkan berperang agar sukunya menjadi yang
paling terhormat diantara yang lain. Mereka juga sangat membanggakan harta dan
kedudukan. Semakin banyak harta dan memiliki banyak budak, maka mereka merasa
menjadi mulia. Setelah menjadi rasul, Nabi Muhammad SAW memberikan ajaran yang
sangat mulia bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat dan dapat
bermanfaat bagi orang lain. Padahal perilaku masyarakat Quraisy saat itu
seringkali menyengsarakan orang lain,, mereka semena-mena terhadap orang-orang
miskin apalagi terhadap budak-budak mereka. Betapa beratnya tugas Nabi Muhammad
SAW untuk membina manusia agar berakhlak mulia ketika kondisi akhlaknya sudah
buruk. Namun semua itu dilakukan beliau dengan penuh kesabaran dan dengan cara
memberi teladan.
B. Nabi Muhammad
Sebagai Rahmat bagi Alam Semesta
Bagi orang-orang
yang merasakan bahwa kehidupan para pembesar dan bangsawan Makkah yang sudah
sesat dan keterlaluan, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa, maka kehadiran
Nabi Muhammad saw. seperti seteguk air saat mereka merasakan dahaga yang sudah
sangat lama. Nabi Muhammad saw. mengajarkan tentang persamaan derajat manusia.
Nabi Muhammad saw. juga mengajarkan agar penyelesaian masalah tidak boleh
dilakukan dnegan cara kekerasan, namun harus dilakukan dengan cara-cara yang
damai dan beradab. Hal ini tercermin dalam tindakan Nabi Muhammad ketika
mendamaikan masyarakat Makkah saat akan meletakkan Hajar Aswad pada
tempatnya.
Nabi Muhammad
mengajarkan agar manusia bekerja keras untuk dapat memenuhi kebutuhannya, namun
ketika menjadi kaya maka dia harus mengasihi yang miskin dengan cara
menyisihkan sebagian hartanya untuk mereka. Orang yang kuat harus mengasihi
yang lemah. Orang tua harus menyayangi anaknya baik anak itu laki-laki maupun
perempuan, sebaliknya anak harus menghormati dan berbakti kepada orang tuanya
walaupun mereka sudah sangat tua. Ketika antar anggota masyarakat dapat
memahami hak dan kewajibannya, saling menghormati, menghargai, dan mengasihi,
maka akan menjadi masyarakat yang damai, aman, tenteram dan sejahtera.
Terbukti, saat ini keadaan Masyarakat Makkah dan Madinah menjadi masyarakat
yang sangat beradab, damai, sejahtera dan mengalami kemajuan yang pesat. Semua
itu diawali dengan ketakwaan mereka kepada Allah dan senantiasa berpegang teguh
kepada ajaran Nabi Muhammad saw. Dengan demikian sesungguhnya Nabi Muhammad
ditus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam. Nabi tidak hanya diutus
untuk penduduk Makkah saja, atau bagi bangsa Arab saja, namun nilai-nilai
yang dibawanya adalah nilai-nilai universal yang dapat meningkatkan martabat
umat manusia sehingga berbeda dengan binatang.
Artinya : “Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.” (QَS
Al Anbiya : 107}
C.
Meneladani Dakwah Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat di
Makkah
Pada mulanya,
dakwah Nabi Muhammad di Makkah dimulai dari sanak keluarga dan kerabat dekat.
Itupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, di rumah salah seorang sahabat yang
bernama Al Arqom bin Abil Arqom Al Makhzumi. Upaya tersebut membuahkan hasil
yang cukup menggembirakan. Kurang lebih tiga tahun ada 39 orang yang menyatakan
iman dan Islam, semuanya dari kerabat dekat dan sahabat-sahabat yang lain. Di
antara kerabat dekat yang masuk Islam waktu itu antara lain Khadijah, Ali bin
Abi Thalib, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah. Khadijah, istri nabi, orang yang
cukup terpandang dan kaya raya. Abu Bakar, seorang dermawan yang kaya raya. Ali
bin Abi Tholib, seorang pemuda yang cukup cerdas dan dihormati. Dengan masuk
Islamnya orang-orang tersebut membawa pengaruh besar pada dakwah nabi sampai
masa berikutnya. Karena orang-orang tersebut cukup dihormati di kalangan
orang-orang Quraisy.
Di antara
sahabat yang menyusul masuk Islam antara lain Usman bin Affan, Zubair bin
Awwam, Saad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Fatimah binti Khatab serta
suaminya (Said bin Zaid), Arqam bin Abil Arqam, Thalhah bin Ubaidillah. Mereka
termasuk “Assabiqunal Awwalun”, yakni orang-orang yang pertama kali masuk
Islam. Dakwah secara terang-terangan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. mendapat
reaksi cukup keras dari para pemuka dan tokoh Quraisy, antara lain Abu Lahab
(Abdul Uzza), Abu Jahal, Umar ibnu Khatab (sebelum masuk Islam), Uqbah bin Abi
Muatih, Aswad bin Abdi Jaghuts, Hakam bin Abil Ash, Abu Sufyan bin Harb
(sebelum masuk Islam), Ummu Jamil (istri Abu Lahab). Reaksi keras yang
dilakukan oleh para tokoh Quraisy tersebut antara lain berupa ejekan, hinaan,
hasutan, ancaman, dan penganiayaan secara fisik. Hal yang sama juga dilakukan
kepada orang-orang Quraisy sendiri, agar tidak mengikuti seruan Nabi Muhammad.
Namun, Rasulullah tetap tabah dan sabar, dakwah pun tetap dijalankan. Bahkan
semakin terang-terangan dan meluas ke wilayah lain.
Menghadapi sikap
Rasulullah tersebut orang-orang Quraisy bertambah marah, bahkan pernah
merencanakan akan melakukan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad. Rencana tersebut
dilakukan menjelang Nabi Muhammad akan hijrah ke Madinah. Atas pertolongan
Allah SWT, waktu itu Nabi selamat dari rencana pembunuhan tersebut. Kemudian
bisa hijrah ke Madinah. Meskipun Nabi Muhammad saw. dengan susah payah dalam
berdakwah karena mendapat tantangan dari Kaum Quraisy, tetapi makin hari makin
didengar orang sehingga makin banyak pengikutnya. Dakwah Nabi Muhammad di Makah
dilakukan kurang lebih selama 13 tahun, dan selebihnya selama 10 tahun Nabi
Muhammad berada di Madinah. Ketika berdakwah di Makkah, tantangan yang dihadapi
oleh Rasulullah dan para sahabat begitu besar. Dari uraian sejarah di atas
dapat diambil pelajaran yang sangat berharga dari cara cara dakwah Rasulullah
yang harus diteladani oleh umat islam, antara lain adalah :
1. Nabi Muhammad
berdakwah dengan keeladanan. Sebelum beliau menyampaikan sesuatu, maka beliau
terlebih dahulu melaksanakanya. Jadi, disamping dakwah dengan lisan, dakwah
juga dilakukan dengan perbuatan, sikap, dan keteladanan dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Disampaikan
dengan penuh kehati-hatian, sabar, dan menggunakan bahasa yang halus dan lemah
lembut serta dengan bahasa yang mudah dipahami.
3. Rasulullah
saw. memposisikan para pengikutnya sebagai sahabat, hal ini tercermin dalam
sebutan para pengikutnya yakni dengan sebutan ‘sahabat’. Cara seperti ini
menimbulkan rasa simpati yang luar biasa, karena di dalam Islam nyata-nyata
diterapkan kesetaraan.
4. Rasulullah
saw. selalu bersama para sahabat-sahabatnya baik dalam keadaan suka maupun
duka, dengan demikian terjalin persatuan, kesatuan, dan solidaritas umat Islam
yang sangat kuat. Dalam berdakwah Rasulullah saw. tidak pernah memaksakan
kehendak, Rasulullah saw hanya menyampaikan ajaran dari Allah SWT, dan
memberikan pemahaman secara rasional dan dengan hati yang jernih. Mengikuti
atau tidak hal itu menjadi hak pribadi masing-masing. Dengan kata lain, dalam
berdakwah Rasulullah saw tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan.
V. Hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah
`Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru,
mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai
dengan garis aqidah, syari’at dan akhlak Islam. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad
SAW ini terjadi pada 12 Rabi`ul Awwal tahun pertama Hijrah, yang bertepatan
dengan 28 Juni 621 Masehi. Hijrah adalah sebuah peristiwa pindahnya Nabi
Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah atas perintah Allah, untuk memperluas
wilayah penyebaran Islam dan demi kemajuan Islam itu sendiri.
A. SEJARAH
Rencana hijrah Rasulullah diawali karena adanya
perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang Yatsrib yaitu suku Aus
dan Khazraj saat di Mekkah yang terdengar sampai ke kaum Quraisy hingga Kaum
Quraisy pun merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Pembunuhan itu
direncanakan melibatkan semua suku. Setiap suku diwakili oleh seorang pemudanya
yang terkuat. Rencana pembunuhan itu terdengar oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga
ia merencanakan hijrah bersama sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar diminta
mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2 ekor
unta.
Sementara Ali bin Abi Thalib diminta untuk
menggantikan Nabi Muhammad SAW menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy
mengira bahwa Nabi Muhammad SAW masih tidur. Pada malam hari yang direncanakan,
di tengah malam buta Nabi Muhammad SAW keluar dari rumahnya tanpa diketahui
oleh para pengepung dari kalangan kaum Quraisy. Nabi SAW menemui Abu Bakar yang
telah siap menunggu. Mereka berdua keluar dari Mekah menuju sebuah Gua Tsur,
kira-kira 3 mil sebelah selatan Kota Mekah. Mereka bersembunyi di gua itu
selama 3 hari 3 malam menunggu keadaan aman.Pada malam ke-4, setelah usaha
orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi Muhammad SAW sudah sampai di
Yatsrib, keluarlah Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada
waktu itu Abdullah bin Uraiqit yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba
dengan membawa 2 ekor unta yang memang telah dipersiapkan sebelumnya.
Berangkatlah Nabi Muhammad SAW bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri
pantai Laut Merah, suatu jalan yang tidak pernah ditempuh orang.Setelah 7 hari
perjalanan, Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar tiba di Quba, sebuah desa yang
jaraknya 5 km dari Yatsrib. Di desa ini mereka beristirahat selama beberapa
hari. Mereka menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi
Muhammad SAW membangun sebuah masjid yang kemudian terkenal sebagai Masjid
Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad SAW sebagai pusat
peribadatan.Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu penduduk Yatsrib menunggu-nunggu
kedatangannya. Menurut perhitungan mereka, berdasarkan perhitungan yang lazim
ditempuh orang, seharusnya Nabi Muhammad SAW sudah tiba di Yatsrib. Oleh sebab
itu mereka pergi ke tempat-tempat yang tinggi, memandang ke arah Quba,
menantikan dan menyongsong kedatangan Nabi Muhammad SAW dan rombongan. Akhirnya
waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan perasaan bahagia, mereka
mengelu-elukan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Mereka berbaris di sepanjang jalan
dan menyanyikan lagu Thala’ al-Badru, yang isinya:Telah tiba bulan purnama,
dari Saniyyah al-Wadâ’i (celah-celah bukit). Kami wajib bersyukur, selama ada
orang yang menyeru kepada Ilahi, Wahai orang yang diutus kepada kami, engkau
telah membawa sesuatu yang harus kami taati. Setiap orang ingin agar Nabi
Muhammad SAW singgah dan menginap di rumahnya.Tetapi Nabi Muhammad SAW hanya
berkata,
“Aku akan menginap dimana untaku berhenti. Biarkanlah
dia berjalan sekehendak hatinya.”
Ternyata unta itu berhenti di tanah milik dua anak
yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari.
Dengan demikian Nabi Muhammad SAW memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat
menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi Muhammad SAW tinggal di rumah Abu
Ayyub, sementara kaum Muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.Sejak
itu nama kota Yatsrib diubah menjadi Madînah an-Nabî (kota nabi). Orang sering
pula menyebutnya Madînah al-Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari
sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia.
B. Terbentuknya Negara Madinah
Setelah Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah dan diterima
penduduk Madinah, Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin penduduk kota itu. Ia
segera meletakkan dasar-dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu
masyarakat baru.
Dasar pertama yang ditegakkannya adalah Ukhuwah
Islamiyah (persaudaraan di dalam Islam), yaitu antara kaum Muhajirin
(orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Anshar (penduduk Madinah
yang masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin). Nabi Muhammad SAW
mempersaudarakan individu-individu dari golongan Muhajirin dengan
individu-individu dari golongan Anshar.Misalnya, Nabi Muhammad SAW
mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Ja’far bin Abi Thalib
dengan Mu’az bin Jabal. Dengan demikian diharapkan masing-masing orang akan
terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang
semacam ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu
persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan
keturunan.
Dasar kedua adalah sarana terpenting untuk mewujudkan
rasa persaudaraan tsb, yaitu tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud adalah
masjid, tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT secara berjamaah, yang
juga dapat digunakan sebagai pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti
belajar-mengajar, mengadili perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat,
musyawarah, dan transaksi dagang.Nabi Muhammad SAW merencanakan pembangunan
masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang
dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar,
dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya
terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma. Di
dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi Muhammad SAW dan
keluarganya.
Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan
pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang
Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab
yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat
diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan
mereka.Perjanjian tersebut diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan
Mîsâq Madînah atau Piagam Madinah. Isi piagam itu antara lain mengenai
kebebasan beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan
ketertiban negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa
Rasulullah SAW menjadi kepala pemerintahan di Madinah.Masyarakat yang dibentuk
oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah setelah hijrah itu sudah dapat dikatakan
sebagai sebuah negara, dengan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negaranya.
Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan
Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah menjadi resah. Mereka takut
kalau-kalau umat Islam memukul mereka dan membalas kekejaman yang pernah mereka
lakukan.Mereka juga khawatir kafilah dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau
dikuasai oleh kaum muslimin.Untuk memperkokoh dan mempertahankan keberadaan
negara yang baru didirikan itu, Nabi Muhammad
SAW mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah
pimpinannya maupun tidak. Hamzah bin Abdul Muttalib membawa 30 orang berpatroli
ke pesisir L. Merah. Ubaidah bin Haris membawa 60 orang menuju Wadi Rabiah.
Sa’ad bin Abi Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang Muhajirin. Nabi Muhammad SAW
sendiri membawa pasukan ke Abwa dan disana berhasil mengikat perjanjian dengan
Bani Damra, kemudian ke Buwat dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Anshar,
dan ke Usyairiah. Di sini Nabi Muhammad SAW mengadakan perjanjian dengan Bani
Mudij.Ekspedesi-ekspedisi tersebut sengaja digerakkan Nabi Muhammad SAW sebagai
aksi-aksi siaga dan melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak
diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk.
Perjanjian perdamaian dengan kabilah dimaksudkan sebagai usaha memperkuat kedudukan
Madinah.
C. Perjalanan Nabi Muhammad SAW
ke Madinah
Quraisy berencana membunuh Muhammad, karena
dikuatirkan ia akan hijrah ke Medinah. Ketika itu kaum Muslimin sudah tak ada
lagi yang tinggal kecuali sebagian kecil. Ketika perintah dari Allah Swr datang
supaya beliau haijrah, beliau meminta Abu Bakar supaya menemaninya dalam
hijrahnya itu. Sebelum itu Abu Bakr memang sudah menyiapkan dua ekor untanya
yang diserahkan pemeliharaannya kepada Abdullah b. Uraiqiz sampai nanti tiba
waktunya diperlukan.
Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan
kepada Ali b. Abi Talib supaya memakai mantelnya yang hijau dari Hadzramaut dan
supaya berbaring di tempat tidurnya. Dimintanya supaya sepeninggalnya nanti ia
tinggal dulu di Mekah menyelesaikan barang-barang amanat orang yang dititipkan
kepadanya. Demikianlah, ketika pemuda-pemuda Quraisy mengintip ke tempat tidur
Nabi Saw, mereka melihat sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mengira bahwa
Nabi Saw masih tidur.
Menjelang larut malam, Rasulullah Saw keluar tanpa
setahu mereka. Bersama-sama dengan Abu Bakr beliau bertolak ke arah selatan
menuju gua Thaur. Hanya empat orang yang tahu keberadaan beliau berdua, yaitu
Abdullah b. Abu Bakr, Aisyah dan Asma (puteri-puteri Abu Bakr), serta pembantu
mereka ‘Amir b. Fuhaira. Bila hari sudah sore Asma, datang membawakan makanan
buat mereka. Abdullah setiap hari berada di tengah-tengah Quraisy untuk
memantau perkembangan yang terjadi untuk disampaikan pada beliau pada malam
harinya. ‘Amir tugasnya menggembalakan kambing Abu Bakar’, memerah susu dan
menyiapkan daging. Apabila Abdullah b. Abi Bakar kembali dari tempat mereka
bersembunyi di gua itu, datang ‘Amir mengikutinya dengan kambingnya guna
menghapus jejaknya. Di gua ini mereka tinggal selama 3 malam. Abdullah bin Abu
Bakar yang belakangan menyusul bertugas mengawasi keadaan. Asma dan Aisyah
bertugas mengirim makanan. Sedangkan pembantu Abu Bakar setiap pagi dengan
berpura-pura menggembalakan kambing hingga sore hari bertugas menghapus jejak.
Namun selama 3 malam di dalam gua itu bukannya tanpa kesulitan. Sejumlah
riwayat menceritakan keberadaan seekor ular di balik gua tersebut.
Suatu saat Rasulullah tertidur di bahu Abu Bakar.
Ketika itulah tiba-tiba Abu Bakar melihat seekor ular datang perlahan
mendekatinya. Tiba-tiba ular tersebut mematuk kakinya. Abu Bakar menahan nafas.
Ia tidak berani bergerak karena khawatir membangunkan Rasulullah. Setelah
beberapa detik melilit kaki Abu Bakar yang berusaha tenang, ular tersebut lalu
pergi menjauh. Beberapa menit kemudian Abu Bakar merasa tubuhnya panas
terbakar. Rupanya racun ular mulai bereaksi. Didorong rasa cintanya yang begitu
tinggi terhadap kekasih Allah ini, Abu Bakar tetap berusaha diam. Namun karena
sakitnya, tak urung air matanyapun akhirnya menetes dan jatuh mengenai
Rasulullah.
Rasulullah terbangun. “ Mengapa engkau menangis, wahai
sahabat? Menyesalkah engkau telah mendampingiku ? » tanya Rasulullah khawatir.
« Tentu tidak ya Rasul Allah. Tapi seekor ular telah menggigitku dan racunnya
mulai menyakitiku hingga tanpa sengaja air mataku menetes », jawab Abu Bakar
menyesal.
Rasulullah tersentak. « Mengapa engkau tidak
mengatakannya ? », tanya Rasul lagi. « Aku tidak ingin membuatmu terbangun « ,
jawab Abu Bakar pendek. Rasulullah tersenyum terharu. Betapa tinggi rasa cinta
sahabat nabi ini hingga ia rela berkorban kakinya digigit ular. Maka tanpa
menunggu lebih lama lagi Rasulullahpun segera mengusap bekas gigitan tadi
dengan ludah beliau. Dan dengan izin-Nya luka tersebut kembali pulih. Jadi
sungguh pantas bila suatu ketika Rasulullah berujar :
“Sekiranya aku mengambil seorang kekasih (khalil)
niscaya Abu Bakarlah orangnya”. ( HR Muslim).
«Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya
dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik”.(QS.At-Taubah (9):24).
“Tidaklah beriman salah seorang diantaramu sehingga
aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya dan semua orang “. ( HR
Muttafaq’alaih).
Sementara itu pihak Quraisy berusaha sungguh-sungguh
mencari mereka. Pemuda-pemuda Quraisy membawa pedang dan tongkat sambil
mondar-mandir mencari ke segenap penjuru. Ketika itu mereka bergerak menuju ke
gua tempat sembunyi. Lalu orang-orang Quraisy itu datang menaiki gua itu, tapi
kemudian ada yang turun lagi. “Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?” tanya
kawan-kawannya. “Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada
sejak sebelum Muhammad lahir,” jawabnya. “Saya melihat ada dua ekor burung dara
hutan di lubang gua itu. Jadi saya mengetahui tak ada orang di sana.”
Demikanlah, kalau saja mereka ada yang menengok ke
bawah pasti akan melihat beliau berdua. Tetapi orang-orang Quraisy itu makin
yakin bahwa dalam gua itu tak ada manusia tatkala dilihatnya ada cabang pohon
yang terkulai di mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke dalamnya
tanpa menghalau dahan-dahan itu. Ketika itulah mereka lalu surut kembali.
Rasulullah s.a.w. tinggal dalam gua selama tiga hari tiga malam. Tentang cerita
gua ini dikisahkan dalam firman Allah Swt
“Ingatlah tatkala orang-orang kafir (Quraisy) itu
berkomplot membuat rencana terhadap kau, hendak menangkap kau, atau membunuh
kau, atau mengusir kau. Mereka membuat rencana dan Allah membuat rencana pula.
Allah adalah Perencana terbaik.” (Qur’an, 8: 30) “Kalau kamu tak dapat
menolongnya, maka Allah juga Yang telah menolongnya tatkala dia diusir oleh
orang-orang kafir (Quraisy). Dia salah seorang dari dua orang itu, ketika
keduanya berada dalam gua. Waktu itu ia berkata kepada temannya itu: ‘Jangan
bersedih hati, Tuhan bersama kita!’ Maka Tuhan lalu memberikan ketenangan kepadanya
dan dikuatkanNya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan
seruan orang-orang kafir itu juga yang rendah dan kalam Allah itulah yang
tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Bijaksana.” (Qur’an, 9: 40)
Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah tenang, unta
kedua orang itu didatangkan. Asma datang makanan. Dikisahkan, Asma merobek ikat
pinggangnya lalu sebelahnya dipakai menggantungkan makanan dan yang sebelah
lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama “dhat’n-nitaqain” (yang bersabuk
dua). Mereka kemudian berangkat.
Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari
mereka, maka perjalanan ke Yathrib itu mereka mengambil jalan yang tidak biasa
ditempuh orang. Abdullah b. ‘Uraiqit – dari Banu Du’il – sebagai penunjuk
jalan, membawa mereka ke arah selatan di bawahan Mekah, kemudian menuju Tihama
di dekat pantai Laut Merah. Kedua orang itu beserta penunjuk jalannya sepanjang
malam dan di waktu siang berada di atas kendaraan. Memang, Rasulullah Saw
sendiri tidak pernah menyangsikan, bahwa Tuhan akan menolongnya, tetapi “jangan
kamu mencampakkan diri ke dalam bencana.” Allah menolong hambaNya selama hamba
menolong dirinya dan menolong sesamanya.
D. Suraqa
Ketika itu Quraisy mengadakan sayembara, barangsiapa
bisa menyerahkan Muhammad akan diberi hadiah seratus ekor unta. Mereka sangat
giat mencari Rasulullah Saw. Ketika terdengar kabar bahwa ada rombongan tiga
orang sedang dalam perjalanan, mereka yakin itu adalah Muhammad dan beberapa
orang sahabatnya. Suraqa b. Malik b. Ju’syum, salah seorang dari Quraisy, juga
ingin memperoleh hadiah seratus ekor unta. Tetapi ia ingin memperoleh hadiah
seorang diri saja. Ia mengelabui orang-orang dengan mengatakan bahwa itu bukan
Muhammad. Tetapi setelah itu ia segera pulang ke rumahnya. Dipacunya kudanya ke
arah yang disebutkan tadi seorang diri.
Demikian bersemangatnya Suraqa mengejar Nabi Saw
hingga kudanya dua kali tersungkur ketika hendak mencapai Nabi. Tetapi melihat
bahwa ia sudah hampir kedua orang itu, ia tetap memacu kudanya karena rasanya
Muhammad sudah di tangan. Akan tetapi kuda itu tersungkur sekali lagi dengan
keras sekali, sehingga penunggangnya terpelanting dari punggung binatang itu
dan jatuh terhuyung-huyung dengan senjatanya. Suraqa merasa itu suatu alamat
buruk jika ia bersikeras mengejar sasarannya itu. Sampai di situ ia berhenti
dan hanya memanggil-manggil:
“Saya Suraqa bin Ju’syum! Tunggulah, saya mau bicara.
Saya tidak akan melakukan sesuatu yang akan merugikan tuan-tuan.” Setelah kedua
orang itu berhenti melihat kepadanya, dimintanya kepada Muhammad supaya menulis
sepucuk surat kepadanya sebagai bukti bagi kedua belah pihak. Dengan permintaan
Nabi, Abu Bakar lalu menulis surat itu di atas tulang atau tembikar yang lalu
dilemparkannya kepada Suraqa. Setelah diambilnya oleh Suraqa surat itu ia
kembali pulang. Sekarang bila ada orang mau mengejar Nabi Saw, maka dikaburkan
olehnya, sesudah tadinya ia sendiri yang mengejarnya.
E. Perjalanan Hijrah Rasul SAW
Selama tujuh hari terus-menerus rombongan Rasulullah
Saw berjalan, mengaso di bawah panas membara musim kemarau dan berjalan lagi
sepanjang malam mengarungi lautan padang pasir dengan perasaan kuatir. Hanya
karena adanya iman kepada Allah Swt membuat hati dan perasaan mereka terasa
lebih aman. Ketika sudah memasuki daerah kabilah Banu Sahm dan datang pula
Buraida kepala kabilah itu menyambut mereka, barulah perasaan kuatir dalam
hatinya mulai hilang. Jarak mereka dengan Yathrib kini sudah dekati.
Selama mereka dalam perjalanan yang sungguh meletihkan
itu, berita-berita tentang hijrah Nabi dan sahabatnya yang akan menyusul
kawan-kawan yang lain, sudah tersiar di Yathrib. Penduduk kota ini sudah
mengetahui, betapa kedua orang ini mengalami kekerasan dari Quraisy yang
terus-menerus membuntuti. Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal di
tempat itu menantikan kedatangan Rasulullah dengan hati penuh rindu ingin
melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya. Banyak di antara mereka itu yang
belum pernah melihatnya, meskipun sudah mendengar tentang keadaannya dan
mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat
mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin melihatnya.
F. Masyarakat Madinah
Tersebarnya Islam di Yathrib dan keberanian kaum
Muslimin di kota itu sebelum hijrah Nabi ke tempat tersebut sama sekali di luar
dugaan kaum Muslimin Mekah. Beberapa pemuda Muslimin bahkan berani
mempermainkan berhala-berhala kaum musyrik di sana. Seseorang yang bernama ‘Amr
bin’l-Jamuh mempunyai sebuah patung berhala terbuat daripada kayu yang
dinamainya Manat, diletakkan di daerah lingkungannya seperti biasa dilakukan
oleh kaum bangsawan. ‘Amr ini adalah seorang pemimpin Banu Salima dan dari
kalangan bangsawan mereka pula. Sesudah pemuda-pemuda golongannya itu masuk
Islam malam-malam mereka mendatangi berhala itu lalu di bawanya dan ditangkupkan
kepalanya ke dalam sebuah lubang yang oleh penduduk Yathrib biasa dipakai
tempat buang air. Bila pagi-pagi berhala itu tidak ada ‘Amr mencarinya sampai
diketemukan lagi, kemudian dicucinya dan dibersihkan lalu diletakkannya kembali
di tempat semula, sambil ia menuduh-nuduh dan mengancam. Tetapi pemuda-pemuda
itu mengulangi lagi perbuatannya mempermainkan Manat ‘Amr itu, dan diapun
setiap hari mencuci dan membersihkannya. Setelah ia merasa kesal karenanya,
diambilnya pedangnya dan digantungkannya pada berhala itu seraya ia berkata:
“Kalau kau memang berguna, bertahanlah, dan ini pedang bersama kau.” Tetapi
keesokan harinya ia sudah kehilangan lagi, dan baru diketemukannya kembali
dalam sebuah sumur tercampur dengan bangkai anjing. Pedangnya sudah tak ada
lagi. Sesudah kemudian ia diajak bicara oleh beberapa orang pemuka-pemuka
masyarakatnya dan sesudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa sesatnya
hidup dalam syirik dan paganisma itu, yang hakekatnya akan mencampakkan jiwa
manusia ke dalam jurang yang tak patut lagi bagi seorang manusia, ia pun masuk
Islam.
G. Mesjid Quba’
Ketika rombongan Rasulullah SAW sampai di Quba’,
mereka tinggal empat hari ia di sana dan membangun mesjid Quba’. Di tempat ini
Ali b. Abi-Talib ra menyusul, setelah mengembalikan barang-barang amanat – yang
dititipkan oleh rasulullah Saw – kepada pemilik-pemiliknya di Mekah. Ali ra
menempuh perjalanannya ke Yathrib dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan,
siangnya bersembunyi. Perjuangan yang sangat meletihkan itu ditanggungnya
selama dua minggu penuh, yaitu untuk menyusul saudara-saudaranya seagama.
H. Sampai di Madinah (Yathrib)
Demikanlah akhirnya rombongan Rasulullah selamat
sampai Madinah. Hari itu adalah hari Jum’at dan Muhammad berjum’at di Medinah.
Di tempat itulah, ke dalam mesjid yang terletak di perut Wadi Ranuna itulah
kaum Muslimin datang, masing-masing berusaha ingin melihat serta mendekatinya.
Mereka ingin memuaskan hati terhadap orang yang selama ini belum pernah mereka
lihat, hati yang sudah penuh cinta dan rangkuman iman akan risalahnya, dan yang
selalu namanya disebut pada setiap kali sembahyang. Orang-orang terkemuka di
Medinah menawarkan diri supaya ia tinggal pada mereka.
Tetapi ia dengan halus meminta maaf kepada mereka.
Kembali ia ke atas unta betinanya, dipasangnya tali keluannya, lalu ia berjalan
melalui jalan-jalan di Yathrib, di tengah-tengah kaum Muslimin yang ramai
menyambutnya dan memberikan jalan sepanjang jalan yang diliwatinya itu. Seluruh
penduduk Yathrib, baik Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan adanya hidup
baru yang bersemarak dalam kota mereka itu, menyaksikan kehadiran Rasulullah
Saw, seorang pendatang baru, orang besar yang telah mempersatukan Aus dan
Khazraj, yang selama itu saling bermusuhan, dan saling berperang.
Sesampainya ke sebuah tempat penjemuran kurma
kepunyaan dua orang anak yatim dari Banu’n-Najjar, unta itu berlutut (berhenti).
Ketika itulah Rasul turun dari untanya dan bertanya: “Kepunyaan siapa tempat
ini?” tanyanya. “Kepunyaan Sahl dan Suhail b. ‘Amr,” jawab Ma’adh b. ‘Afra’.
Dia adalah wali kedua anak yatim itu. Ia akan membicarakan soal tersebut dengan
kedua anak itu supaya mereka puas. Dimintanya kepada Muhammad supaya di tempat
itu didirikan mesjid. Muhammad mengabulkan permintaan tersebut dan dimintanya
pula supaya di tempat itu didirikan mesjid dan tempat-tinggalnya.
VI. PEPERANGAN
YANG DIALAMI NABI MUHAMMAD
A. Perang Badar
Perang Badar yang merupakan perang antara kaum
muslimin Madinah dan kaun musyrikin Quraisy Mekah terjadi pada tahun 2 H.
Perang ini merupakan puncak dari serangkaian pertikaian yang terjadi antara
pihak kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy. Perang ini berkobar
setelah berbagai upaya perdamaian yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW
gagal.Tentara muslimin Madinah terdiri dari 313 orang dengan perlengkapan
senjata sederhana yang terdiri dari pedang, tombak, dan panah. Berkat
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan semangat pasukan yang membaja, kaum muslimin
keluar sebagai pemenang. Abu Jahal, panglima perang pihak pasukan Quraisy dan
musuh utama Nabi Muhammad SAW sejak awal, tewas dalam perang itu. Sebanyak 70
tewas dari pihak Quraisy, dan 70 orang lainnya menjadi tawanan. Di pihak kaum
muslimin, hanya 14 yang gugur sebagai syuhada. Kemenangan itu sungguh merupakan
pertolongan Allah SWT (QS. 3: 123).
Orang-orang Yahudi Madinah tidak senang dengan
kemenangan kaum muslimin. Mereka memang tidak pernah sepenuh hati menerima
perjanjian yang dibuat antara mereka dan Nabi Muhammad SAW dalam Piagam
Madinah.Sementara itu, dalam menangani persoalan tawanan perang, Nabi Muhammad
SAW memutuskan untuk membebaskan para tawanan dengan tebusan sesuai kemampuan
masing-masing. Tawanan yang pandai membaca dan menulis dibebaskan bila bersedia
mengajari orang-orang Islam yang masih buta aksara. Namun tawanan yang tidak
memiliki kekayaan dan kepandaian apa-apa pun tetap dibebaskan juga.Tidak lama
setelah perang Badar, Nabi Muhammad SAW mengadakan perjanjian dengan suku Badui
yang kuat. Mereka ingin menjalin hubungan dengan Nabi Muhammad SAW karenan
melihat kekuatan Nabi Muhammad SAW. Tetapi ternyata suku-suku itu hanya memuja
kekuatan semata.Sesudah perang Badr, Nabi Muhammad SAW juga menyerang Bani
Qainuqa, suku Yahudi Madinah yang berkomplot dengan orang-orang Mekah. Nabi
Muhammad SAW lalu mengusir kaum Yahudi itu ke Suriah.
B. Perang Uhud
Perang yang terjadi di Bukit Uhud ini berlangsung pada
tahun 3 H. Perang ini disebabkan karena keinginan balas dendam orang-orang
Quraisy Mekah yang kalah dalam perang Badr. Pasukan Quraisy, dengan dibantu
oleh kabilah Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan
berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus orang di antara mereka
memakai baju besi.Adapun jumlah pasukan Nabi Muhammad SAW hanya berjumlah 700
orang. Perang pun berkobar.
Prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur pasukan
musuh yang jauh lebih besar itu. Tentara Quraisy mulai mundur dan kocar-kacir
meninggalkan harta mereka.Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu,
pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Rasulullah di puncak bukit meninggalkan
pos mereka dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan
pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana
pun sebelum diperintahkan.
Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh. Situasi
ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik. Tanpa
konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit,
dan satu per satu pahlawan Islam berguguran. Nabi Muhammad SAW sendiri terkena
serangan musuh. Sisa-sisa pasukan Islam diselamatkan oleh berita tidak benar
yang diterima musuh bahwa Nabi Muhammad SAW sudah meninggal. Berita ini membuat
mereka mengendurkan serangan untuk kemudian mengakhiri pertempuran itu.Perang
Uhuh ini menyebabkan 70 orang pejuang Islam gugur sebagai syuhada.
C. Perang Khandaq
Perang yang terjadi pada tahun 5 H ini merupakan
perang antara kaum muslimin Madinah melawan masyarakat Yahudi Madinah yang
mengungsi ke Khaibar yang bersekutu dengan masyarakat Mekah. Karena itu perang
ini juga disebut sebagai Perang Ahzab (sekutu beberapa suku).Pasukan gabungan
ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah
SAW, mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan di bagian-bagian
kota yang terbuka.
Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang
Khandaq yang berarti parit.Tentara sekutu yang tertahan oleh parit tsb mengepung
Madinah dengan mendirikan perkemahan di luar parit hampir sebulan lamanya.
Pengepungan ini cukup membuat masyarakat Madinah menderita karena hubungan
mereka dengan dunia luar menjadi terputus. Suasana kritis itu diperparah pula
oleh pengkhianatan orang-orang Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizah, dibawah
pimpinan Ka’ab bin Asad.
Namun akhirnya pertolongan Allah SWT menyelamatkan
kaum muslimin. Setelah sebulan mengadakan pengepungan, persediaan makanan pihak
sekutu berkurang. Sementara itu pada malam hari angin dan badai turun dengan
amat kencang, menghantam dan menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan
tentara sekutu. Sehingga mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali
ke negeri masing-masing tanpa suatu hasil.Para pengkhianat Yahudi dari Bani
Quraizah dijatuhi hukuman mati. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an surat
Al-Ahzâb: 25-26.
VII. Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan,
hasrat kaum muslimin untuk mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi Muhammad
SAW memimpin langsung sekitar 1.400 orang kaum muslimin berangkat umrah pada
bulan suci Ramadhan, bulan yang dilarang adanya perang. Untuk itu mereka
mengenakan pakaian ihram dan membawa senjata ala kadarnya untuk menjaga diri,
bukan untuk berperang.Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah yang
terletak beberapa kilometer dari Mekah. Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum
muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah besar tentara untuk
berjaga-jaga. Akhirnya diadakanlah Perjanjian Hudaibiyah antara Madinah dan
Mekah, yang isinya antara lain:
Kedua belah pihak setuju untuk melakukan gencatan
senjata selama 10 tahun.
Bila ada pihak Quraisy yang menyeberang ke pihak
Muhammad, ia harus dikembalikan. Tetapi bila ada pengikut Muhammad SAW yang
menyeberang ke pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus mengembalikannya ke
pihak Muhammad SAW.
Tiap kabilah bebas melakukan perjanjian baik dengan
pihak Muhammad SAW maupun dengan pihak Quraisy.
Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun
tsb, tetapi ditangguhkan sampai tahun berikutnya.
Jika tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah,
orang Quraisy harus keluar lebih dulu.
Kaum muslimin memasuki kota Mekah dengan tidak
diizinkan membawa senjata, kecuali pedang di dalam sarungnya, dan tidak boleh
tinggal di Mekah lebih dari 3 hari 3 malam.
Tujuan Nabi Muhammad SAW membuat perjanjian tsb
sebenarnya adalah berusaha merebut dan menguasai Mekah, untuk kemudian dari
sana menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain. Ada 2 faktor utama yang mendorong
kebijaksanaan ini :
Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab, sehingga
dengan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islam, diharapkan Islam dapat
tersebar ke luar.
Apabila suku Quraisy dapat diislamkan, maka Islam akan
memperoleh dukungan yang besar, karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan
dan pengaruh yang besar di kalangan bangsa Arab.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai
perjanjian. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan ibadah
haji yang dilakukan kaum muslimin, disamping juga melihat kemajuan yang dicapai
oleh masyarakat Islam Madinah.
Di Sisi Lain Keberhasilan dakwah di madinah tak
terlepas dari sosok sahabat nabi, yang bernama MUSH’AB BIN ‘UMAIR. Beliau
adalah salah satu sahabat nabi. Sebelum masuk hidayah tertanam didadanya,
beliau adalah seorang pemuda tampan, anak seorang bangsawan dan hartawan.
pemuda yang menjadi buah bibir warga mekah, khususnya para wanita. Ia lahir dan
dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Sampai akhirnya
hidayah Allah datang kepada beliau, dan beliau masuk islam dalam usia yang
masih muda, sekira 24 tahun berbagai kesenangan dunia serta kekayaannya ia
tinggalkan demi memilih islam sebagai agamanya.
Seorang Mush’ab yang memilih hidup miskin dan sengsara
demi Islam sebagai tuntunan hidupnya Pemuda ganteng itu, kini telah menjadi
seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan
beberapa hari menderita lapar. Sampai akhirnya Nabi Muhammad mengutus beliau
sebagai sebagai duta dakwah pertama ke madinah. Sejarah mengisahkan betapa
Al-Amin mempercayakan kepadanya.
Mush’ab dipilih menjadi seorang utusan. Seorang duta
pertama dalam Islam. Ada amanah indah yang harus segera ia tunaikan. Tugasnya
mengajarkan tentang Islam kepada kaum Anshar yang telah beriman dan berbaiat
kepada Rasulullah di Aqabah. Sebuah misi yang tentu saja tidak mudah. Saat itu
telah 12 orang kaum Anshar yang beriman. Tak lama berselang, Allah yang maha
besar, memperlihatkan hasil usaha sungguh sungguh dari seorang Mushaib.
Berduyun-duyun manusia berikrar mengesakan Allah dan mengakui Rasulullah
sebagai utusan Allah. Jika saat ia pergi ada 12 orang golongan kaum Anshar yang
beriman, maka pada musim haji selanjutnya umat muslim Madinah mengirim
perwakilan sebanyak 70 orang laki-laki dan 2 orang perempuan ke Makkah untuk
menjumpai Nabi yang Ummi.
Madinah semarak dengan cahaya. Usaha gigih yang
diperbuat Mushab membuat Benih benih islam tersemai dengan subur di madinah
kesungguhan Mus‘ab bin Umair dalam berdakwah. Setiap hari dalam hidupnya senantiasa
memberikan konstribusi baru bagi Islam di dalam dakwah dan jihad yang
dilakukannya. Beliau adalah dai pertama dalam Islam di kota Madinah. Di
tangannyalah sebagian besar penduduk Madinah berhasil diislamkan. Dia adalah
peletak pertama fondasi Negara Islam Madinah. Dia adalah kontributor
sesungguhnya bagi Islam dan jamaah kaum Muslim.
VIII. STRATEGI DAKWAH DI
MADINAH
Beberapa strategi dirangka khusus setibanya Rasulullah
s.a.w di Madinah. Semua strategi berpandukan kepada arahan dan tindakan
Rasulullah s.a.w serta pengiktirafan baginda terhadap ide-ide daripada para
sahabat baginda.
A.
PEMBINAAN MASJID
Masjid merupakan institusi dakwah pertama yang dibina
oleh Rasulullah s.a.w setibanya baginda di Madinah. Ia menjadi nadi pergerakan Islam
yang menghubungkan manusia dengan Penciptanya serta manusia sesama manusia.
Masjid menjadi lambang akidah umat Islam atas keyakinan tauhid mereka kepada
Allah s.w.t.Pembinaan masjid dimulakan dengan membersihkan persekitaran kawasan
yang dikenali sebagai ‘mirbad’ dan meratakannya sebelum menggali lubang untuk
diletakkan batu-batu sebagai asas binaan. Malah, Rasulullah s.a.w sendiri yang
meletakkan batu-batu tersebut. Batu-batu itu kemudiannya disimen dengan tanah
liat sehingga menjadi binaan konkrit.Masjid pertama ini dibina dalam keadaan
kekurangan tetapi penuh dengan jiwa ketaqwaan kaum muslimin di kalangan
muhajirin dan ansar.
Di dalamnya, dibina sebuah mimbar untuk Rasulullah
s.a.w menyampaikan khutbah dan wahyu daripada Allah. Terdapat ruang muamalah
yang dipanggil ‘sirda’untuk pergerakan kaum muslimin melakukan aktiviti
kemasyarakatan.[2] Pembinaan masjid ini mengukuhkan lagi dakwah baginda bagi
menyebarkan risalah wahyu kepada kaum muslimin serta menjadi pusat perbincangan
di kalangan Rasulullah s.a.w dan para sahabat tentang masalah ummah.
B.
MENGUKUHKAN PERSAUDARAAN
Rasulullah SAW mengeratkan hubungan di antara
Muhajirin dan Ansar sebagai platform mempersatukan persaudaraan di dalam Islam.
Jalinan ini diasaskan kepada kesatuan cinta kepada Allah serta pegangan akidah
tauhid yang sama. Persaudaraan ini membuktikan kekuatan kaum muslimin melalui
pengorbanan yang besar sesama mereka tanpa mengira pangkat, bangsa dan harta.
Selain itu, ia turut memadamkan api persengketaan di kalangan suku kaum Aus dan
Khajraz.[3]
C.
PEMBENTUKAN PIAGAM MADINAH
Madinah sebagai sebuah Negara yang menghimpunkan
masyarakat Islam dan Yahudi daripada pelbagai bangsa memerlukan kepada satu
perlembagaan khusus yang menjaga kepentingan semua pihak. Justeru, Rasulullah
s.a.w telah menyediakan sebuah piagam yang dikenali sebagai Piagam Madinah bagi
membentuk sebuah masyarakat di bawah naungan Islam. Piagam ini mengandung 32
pasal yang menyentuh segenap aspek kehidupan termasuk akidah, akhlak,
kebajikan, undang-undang, kemasyarakatan, ekonomi dan lain-lain. Di dalamnya
juga terkandung aspek khusus yang mesti dipatuhi oleh kaum Muslimin seperti
tidak mensyirikkan Allah, tolong-menolong sesama mukmin, bertaqwa dan
lain-lain.
Selain itu, bagi kaum bukan Islam, mereka mestilah
berkelakuan baik bagi melayakkan mereka dilindungi oleh kerajaan Islam Madinah
serta membayar cukai.Piagam ini mestilah dipatuhi oleh semua penduduk Madinah
sama ada Islam atau bukan Islam. Strategi ini telah menjadikan Madinah sebagai
model Negara Islam yang adil, membangun serta digeruni oleh musuh-musuh Islam.
D.
STRATEGI KETENTERAAN
Peperangan merupakan strategi dakwah Rasulullah di
Madinah untuk melebarkan perjuangan Islam ke seluruh pelusuk dunia. Strategi
ketenteraan Rasulullah s.a.w digeruni oleh pihak lawan khususnya puak musyrikin
di Mekah dan Negara-negara lain. Antara tindakan strategik baginda menghadapi
peperangan ialah persiapan sebelum berlakunya peperangan seperti pengitipan dan
maklumat musuh. Ini berlaku dalam peperangan Badar, Rasulullah s.a.w telah
mengutuskan pasukan berani mati seperti Ali bin Abi Talib, Saad Ibnu Waqqash
dan Zubair Ibn Awwam bagi mendapatkan maklumat sulit musuh.[4] Maklumat penting
musuh memudahkan pasukan tentera Islam bersiap-sedia menghadapi mereka di medan
perang. Rasulullah s.a.w turut membacakan ayat-ayat al-Quran bagi menggerunkan
hati-hati musuh serta menguatkan jiwa kaum Muslimin.
Antara firman Allah Taala bermaksud:
“Dan ingatlah ketika Allah menjajikan kepadamu bahawa
salah satu dari dua golongan yang kamu hadapi adalah untukmu, sedang kamu
menginginkan bahawa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmy, dan
Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayatNya dan
memusnahkan orang-orang kafir.” (Surah al-Anfal: 7)
Rasulullah S.A.W turut mengambil pandangan daripada
para sahabat baginda dalam merangka strategi peperangan. Sebagai contoh, dalam
peperangan Badar, baginda bersetuju dengan cadangan Hubab mengenai tempat
pertempuran. Hubab mencadangkan agar baginda menduduki tempat di tepi air yang
paling dekat dengan musuh agar air boleh diperolehi dengan mudah untuk tentera
Islam dan haiwan tunggangan mereka. Dalam perang Khandak, Rasulullah s.a.w
bersetuju dengan pandangan Salman al-Farisi yang berketurunan Parsi berkenaan
pembinaan benteng. Strategi ini membantu pasukan tentera Islam berjaya dalam
semua peperangan dengan pihak musuh.
E.
PEMBERIAN COP MOHOR
Rasulullah s.a.w mengutuskan surat dan watikah kepada
kerajaan – kerajaan luar seperti kerajaan Rom dan Parsi bagi mengembangkan
risalah dakwah. Semua surat dan watikah diletakkan cop yang tertulis kalimah la
ila ha illahlah wa ana Rasullah[5] Tujuannya adalah untuk menjelaskan kedudukan
Rasulullah s.a.w sebagai utusan Allah dan Nabi di akhir zaman. Dalam
watikahnya, baginda turut menyeru agar mereka menyembah Allah dan bersama-sama
berjuang untuk Islam sebagai agama yang diiktiraf oleh Allah. Kebanyakan
watikah baginda diterima baik oleh kerajaan-kerajaan luar. Contoh surat Nabi
kepada Raja Parsi :Nabi mengutuskan Abdullah bin Huzaifah bin Saham yang
membawa surat kepada Kaisar Humuz, Raja Parsi yang bunyinya sebagai berikut :
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang dari Nabi Muhammad Rasulullah kepada Kaisar penguasa Parsi. Semoga
sejahtera kepada sesiapa sahaja yang mengikut pimpinan Allah dan beriman
kepadaNya dan rasulNya dan bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah yang Esa tidak
ada sekutu bagiNya dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan
rasulNya.“Saya mengajak anda dengan ajakan Allah kepada umat manusia dan untuk
memperingatkan manusia yang masih hidup, bahawa siksaan akan ditimpakan atas
orang-orang kafir. Masuklah Islam dan hendaklah menerimanya. Jika anda
menolaknya, maka berdosalah bagi penyembah api.”
F.
HUBUNGAN LUAR
Hubungan luar merupakan orientasi penting bagi melabarkan
sayap dakwah. Ini terbukti melalui tindakan Rasulullah s.a.w menghantar para
dutanya ke negara-negara luar bagi menjalinkan hubungan baik berteraskan dakwah
tauhid kepada Allah. Negara-negara itu termasuklah Mesir, Iraq, Parsi dan Cina.
Sejarah turut merakamkan bahawa Saad Ibn Waqqas pernah berdakwah ke negeri Cina
sekitar tahun 600 hijrah. Sejak itu, Islam bertebaran di negeri Cina sehingga
kini. Antara para sahabat yang menjadi duta Rasulullah ialah Dukyah Kalibi
kepada kaisar Rom, Abdullah bin Huzaifah kepada kaisar Hurmuz, Raja Parsi,
Jaafar bin Abu Talib kepada Raja Habsyah.[7]Strategi hubungan luar ini
diteruskan pada pemerintahan khalifah Islam selepas kewafatan Rasulullah s.a.w.
Sebagai contoh, pasukan Salehuddin al-Ayubi di bawah pemerintahan Bani
Uthmaniah telah berjaya menawan kota suci umat Islam di Baitul Maqdis.
Penjajahan dan penerokaan ke Negara-negara luar merupakan strategi dakwah
paling berkesan di seluruh dunia.
IX. Berbagai
Peristiwa Sebelum Hijrah
Peristiwa
hijrah Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya ke Madinah merupakan salah satu
tonggak sejarah yang penting dalam pertumbuhan Islam. Walaupun bukan peristiwa
hijrah yang pertama, tetapi hijrah tersebut merupakan titik balik kebangkitan
Islam, sekaligus menjadi dasar pijakan berdirinya negara Islam yang pertama.
Pada masa khalifah Umar bin Khaththab, para sahabat bermusyawarah untuk membuat
penanggalan yang mencirikan keislaman. Tahun Islamiah yang diusulkan oleh
sahabat Amr bin Ash ini memicu perbedaan pendapat tentang kapan dimulainya?
Sebagian sahabat mengusulkan saat kelahiran Nabi SAW, yang lainnya mengusulkan
saat diangkatnya beliau menjadi Rasul, saat hijrah ke Habasyah, saat Fathul
Makkah dan berbagai peristiwa lainnya. Tetapi pada akhirnya mereka sepakat
menetapkan hijrah ke Madinah sebagai penetapan awal tahun Islamiah, dan disebut
sebagai Tahun Hijriah.
Selama tigabelas tahun berdakwah di Makkah, sambutan
masyarakat di tempat kelahiran Nabi SAW itu lebih banyak merupakan tantangan
dan perlawanan, penolakan dan ejekan, bahkan tidak jarang berupa siksaan untuk
mengembalikan kaum muslimin ke agama jahiliahnya, penyembahan berhala. Tetapi
dalam sepuluh tahun Nabi SAW berdakwah dari Madinah, Islam berkembang begitu
pesatnya. Hampir seluruh jazirah Arabia tunduk pada ‘pemerintahan’ Islam di
Madinah, termasuk Makkah. Bahkan menjangkau sebagian wilayah Romawi dan Persia
yang merupakan dua kutub kekuatan di barat dan timur saat itu.
Peristiwa yang bisa dianggap menjadi cikal bakal
hijrah Madinah, terjadi pada musim haji, bulan Dzulhijjah tahun ke sebelas dari
kenabian, sebelum terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Seperti biasanya, setelah
selesainya ritual ibadah haji (tentunya dengan cara jahiliah), Nabi SAW akan
berkeliling mengunjungi kabilah demi kabilah yang datang dari berbagai penjuru
jazirah Arabia, untuk mendakwahkan Risalah Islamiah. Suatu malam Nabi SAW
mengunjungi Aqabah di Mina bersama Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, dan
melihat ada enam pemuda tengah berbincang santai. Beliau menghampiri mereka dan
meminta ijin untuk bergabung. Setelah diijinkan dan duduk bersama mereka,
beliau berkata, “Siapakah kalian ini??”
Salah seorang dari mereka berkata, “Kami orang-orang
dari Khazraj!!”
Khazraj adalah salah satu suku besar dari Kota
Yatsrib, nama jahiliah dari Madinah. Ke enam pemuda itu adalah Asad bin Zurarah
dan Auf bin Harits al Afra dari Kabilah Bani Najjar, Rafi bin Malik dari Bani
Zuraiq, Quthbah bin Amir dari Bani Salamah, Uqbah bin Amir dari Bani Ubaid bin
Ka’b, dan Jabir bin Abdullah bin Ri’ab dari Bani Ubaid bin Ghanm.
Nabi SAW bersabda, “Sekutu dari orang-orang Yahudi??”
“Benar!!” Kata mereka.
Beliau berkata lagi, “Bolehkan aku memperbincangkan
sesuatu dengan kalian??”
“Baiklah, “ Kata mereka lagi.
Kemudian Nabi SAW menceritakan tentang kenabian beliau
dan seluk-beluk risalah Islam dengan lengkap. Usai beliau bercerita, ke enam
orang tersebut saling berpandangan, kemudian salah satunya berkata, “Demi
Allah, kalian semua mengetahui bahwa dia (yakni Rasulullah SAW) benar-benar
seorang nabi, yang ciri-cirinya sering disebut-sebut oleh orang-orang Yahudi.
Karena itu jangan sampai mereka mendahului kalian, dan marilah kita mengikuti
seruannya memeluk Islam!!”
Memang, dalam pergaulannya dengan orang-orang Yahudi
di Yatsrib selama ini, telah santer terdengar berita kalau mereka tengah
menunggu kehadiran seorang nabi yang muncul pada masa itu, dan menyebutkan
ciri-cirinya. Bahkan orang-orang Yahudi itu, yang termasuk minoritas dan lemah
dibanding penduduk asli Yatsrib, sering membangga-banggakan kalau telah
mengikuti nabi tersebut, mereka akan menjadi kuat dan mampu memerangi Khazraj
dan Aus serta menghancur-leburkannya, sebagaimana di masa lalu kaum Ad dan Iram
dihancurleburkan dengan pertolongan Allah.
Mereka berenam, para pemuda yang cerdas dan berwawasan
ke depan, tampaknya sependapat tentang kebenaran kenabian Rasulullah SAW itu.
Apalagi dengan penjelasan beliau tentang Risalah Islamiah, mereka berharapan
besar akan bisa menyatukan dua suku, Khazraj dan Aus, yang telah terlibat
perang saudara selama bertahun-tahun lamanya, dan kebenaran yang disampaikan
Nabi SAW akan bisa melenyapkan permusuhan yang telah berlarut-larut rasanya.
Merekapun memutuskan untuk memeluk Islam.
Satu persatu mereka menjabat tangan Rasulullah SAW dan
berba’iat memeluk Islam. Setelah keislamannya, Auf berkata, “Kami tidak akan
membiarkan kaum kami (yakni Khazraj) dan kaum lainnya (yakni Aus) terus-menerus
bermusuhan dan berbuat jahat. Semoga Allah akan menyatukan mereka dengan
kehadiran engkau. Sepulangnya nanti, kami akan mengajak mereka untuk memeluk
agama engkau, dan jika mereka bisa bersatu, maka sungguh tidak ada yang lebih
mulia di mata kami kecuali engkau!!”
Nabi SAW sangat gembira dengan niat Auf dan
kawan-kawannya untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang Yatsrib, dan beliau
mendoakan mereka dengan kebaikan. Dan ternyata benar, seruan mereka memperoleh
sambutan luar biasa dari kaumnya termasuk dari ‘musuhnya’, kaum Aus. Segera
saja nama Nabi Muhammad SAW menjadi ‘buah bibir’ di masyarakat Yatsrib dan
banyak sekali yang memeluk Islam.
Pada tahun haji berikutnya, yakni tahun ke duabelas
dari kenabian, lima dari enam pemuda tersebut, kecuali Jabir bin Abdullah,
berikut tujuh orang tokoh-tokoh dari berbagai kabilah lainnya termasuk dari
suku Aus datang ke Makkah. Mereka bertemu dan menghadap Nabi SAW di Aqabah,
Mina untuk meneguhkan keislaman mereka, mewakili sebagian besar dari kaumnya
yang telah memeluk Islam. Peristiwa ini dalam tarikh Islam disebut sebagai
Bai’atul Aqabah Pertama, dan menjadi salah satu tonggak perkembangan Islam.
Pada musim haji berikutnya, yakni tahun ke tigabelas
dari kenabian, datang lagi kelompok yang lebih besar hingga 70 orang lebih,
termasuk tiga orang wanita. Mereka ini mengabarkan bahwa mayoritas penduduk
Yatsrib telah memeluk Islam, dan mereka berba’iat untuk mewakili kaumnya
masing-masing. Mereka juga menyatakan kalau mereka siap menerima Nabi SAW dan
kaum muslimin lainnya untuk tinggal di sana, karena mereka mendengar kalau
perlakuan kaum Quraisy makin keras dan kejam. Peristiwa ini disebut dengan
Ba’iatul Aqabah ke dua.
Setelah berlangsungnya Bai'atul Aqabah ke dua, atau
juga dikenal dengan Baiatul Aqabah Kubra, Rasulullah SAW menghimbau kaum
muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Beliau bersabda kepada kaum muslimin,
“Sesunggguhnya diperlihatkan (Allah) kepada saya negeri hijrahmu yang mempunyai
pohon kurma, di antara dua daerah yang berbatu hitam!!”
Para sahabat langsung merespon himbauan beliau.
Sebagian besar berangkat dengan cara sembunyi-sembunyi tetapi ada juga yang
terang-terangan seperti Umar bin Khaththab. Sebagian sahabat yang telah
berhijrah ke Habasyah ada yang langsung berangkat ke Madinah. Dua bulan lebih
setelah Baiatul Aqabah Kubra tersebut, hampir semua kaum muslimin telah
meninggalkan Makkah menuju Madinah, kecuali beberapa orang yang diberikan
keringanan (rukhsah) untuk tidak berhijrah, atau kaum wanita dan anak-anak.
Ketika Abu Bakar meminta ijin Rasulullah SAW untuk berhijrah, beliau bersabda,
“Tundalah keberangkatanmu (untuk berangkat bersamaku), sesungguhnya aku masih
menunggu izin bagiku untuk berhijrah!!”
“Demi bapakku menjadi taruhannya,” Kata Abu Bakar,
“Dalam keadaan seperti ini engkau masih menunggu ijin??”
Nabi
SAW mengiyakan. Memang benar firman Allah, Nabi SAW tidaklah mengatakan atau
melakukan sesuatu karena hawa nafsunya, tetapi semua itu adalah atas wahyu dan
petunjuk dari Allah (Wa maa yantiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyuy yuukha).
X. KESIMPULAN
Dari perjalanan sejarah nabi ini,
dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW, di samping sebagai pemimpin agama,
juga seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang cakap. Hanya
dalam waktu sebelas tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukan
seluruh Jazirah Arab ke dalam kekuasaannya.
Kita dapat membagi masa dakwah
Muhammad SAW menjadi dua periode, yang satu berbeda secara total dengan yang
lainnya, yaitu:
1. Periode Mekah, berjalan kira-kira
tiga belas tahun.
2. Periode Madinah, berjalan selama
sepuluh tahun penuh.
Setiap periode memiliki
tahapan-tahapan tersendiri, dengan kekhususannya masing-masing. Periode mekah
dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1. Tahapan dakwah secara
sembunyi-sembunyi, yang berjalan selama tiga tahun.
2. Tahapan dakwah secara
terang-terangan di tengah penduduk Mekah, yang dimulai sejak tahun keempat dari
kenabian hingga akhir tahun kesepuluh.
3. Tahapan dakwah di luar Mekah, yang
dimulai dari tahun kesepuluh dari kenabian hingga hijrah ke Madinah.
Sedangkan periode Madinah dapat
dibagi menjadi tiga tahapan fase:
1. Fase yang banyak diwarnai cobaan dan
perselisihan, banyak rintangan yang muncul dari dalam, sementara musuh dari
luar menyerang Madinah untuk menyingkirkan para pendatangnya. Fase ini berakhir
dengan dikukuhkannya perjanjian Hudaibiyah.
2. Fase perdamaian dengan para pemimpin
paganisme, yang berakhir dengan Futuh Makah pada bulan Ramadhan tahun kedelapan
dari Hijriyah. Ini juga merupakan fase berdakwah kepada para raja agar masuk
Islam.
3. Fase masuknya manusia ke dalam Islam
secara berbondong-bondong, yaitu masa kedatangan para utusan dari berbagai
kabilah dan kaum ke Madinah. Masa ini membentang hingga wafatnya Rasulullah
SAW.
Strategi dakwah Rasulullah s.a.w di Madinah lebih
agresif dan besar. Madinah, sebagai Negara Islam pertama menjadi nadi pergerak
dakwah Islam ke seluruh dunia. Tapak yang disediakan oleh Rasulullah s.a.w
begitu kukuh sehingga menjadi tauladan kepada pemerintahan Islam sehingga kini.
Strategi yang bersumberkan kepada dua perundangan utama iaitu al-Quran dan
Hadis menjadi intipati kekuatan perancangan Islam dalam menegakkan kalimah
Tauhid.Sukses hijrah Nabi Muhammad SAW ditandai, antara lain, keberhasilannya mencerdaskan
masyarakat Muslim yang bodoh menjadi umat yang cerdas, menyejahterakan sosial
ekonomi umat dan masyarakat dengan asas keadilan dan pemerataan, serta
penegakan nilai etik-moral dan norma hukum yang tegas. Pendeknya, Nabi Muhammad
SAW berhasil membangun kesalehan ritual yang paralel dengan kesejahteraan
material, ketaatan individual yang seiring dengan kepatuhan sosial, dan
terwujudnya kesejahteraan duniawiah-temporal yang seimbang dengan keberkahan
ukhrawiah yang kekal.Sebuah fakta sejarah kemudian membuktikan bahwa proses
penyebaran Islam dengan dakwah jauh lebih cepat dan berkembang pada periode
Madinah ini dibandingkan periode Mekkah. Selain itu juga di Madinah, Rasulullah
dan Umat Islam berhasil membangun tata peradaban baru, tata pemerintahan, tata
ekonomi dan sosial yang demikian pesat perkembangannya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam proses Hijrah :
A.
Pengorbanan
Nilai ini ditunjukan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu
ketika beliau tanpa ragu menyanggupi untuk menggantikan Nabi untuk tetap berada
didalam rumah, bahkan beliau kemudian tidur dan mengenakan sorban Nabi. Sungguh
sebuah pengorbanan yang sangat heroik dimana Ali yang ketika itu masih seorang
pemuda, rela untuk menjadi tameng bagi kelangsungan hidup Rasulnya, yang
berarti pula kelangsungan dakwah Islam. Nilai ini juga ditunjukan oleh Abu
Bakar as Shidiq, yakni ketika beliau berkata :“ Biar saya yang masuk kedalam
gua (Tsur) dulu, kalau ada binatang buas atau binatang berbisa didalam sana,
saya rela mati, biar anda meneruskan perjuangan dan dakwah anda”. Lagi sebuah
epik kepahlawanan dan pengorbanan yang luar biasa. Kemudian dalamsebuah cerita
kemudian benar Abu Bakar digigit ular berbisa, namun ataskehendak Allah, beliau
selamat dalam peristiwa itu.
B.
Keyakinan dan
Tawakal
Ketika berada dalam gua tsur yang gelap dan dalam
keadaan yang sedemikian rupa, kemudian terucap kata-kata yang hanya akan keluar
dari lisan orang yang memiliki keyakinan dan sikap tawakal yang demikian
sempurna “ La Tahzan, innallah ma ana – jangan bersedih, sesungguhnya Allah
bersama kita”
C.
Kebersamaan
Peristiwa Hijrah ini melibatkan Nabi Muhammad yang
mewakili Pemimpin, Ali bin Abi Thalib yang mewakili generasi muda, Abu Bakr,
yang mewakili golongan tua, bahkan konon ada seorang perempuan yang bertugas
menyupalai makanan kepada Nabi dan Abu Bakar selama mereka berada dalam gua –
yang menurut seorang ulama, ini menggambarkan sebuah kesatuan, antara pemimpin,
pemuda, orang tua dan perempuan, sebagai salah satu syarat “keberhasilan”,
seperti kemudian digambarkan bagaimana proses Hijrah ini adalah menjadi tonggak
sejarah dan momentum perkembangan Islam.
D.
Kondisi yang Kondusif
Sebagaimana diketahui, ketika sampai ditempat yang
baru, Nabi mengganti nama Yatsrib – Mengecam, menjadi Madinah – Kota Peradaban.
Ini mencerminkan bahwa sebuah proses keberhasilan tidak akan dicapai ketika
orang-orang yang berada didalamnya saling mengecam satu sama lain, kritik yang
tidak konstruktif, asal ganti dan lebih mementingkan kepentingan golongan dan
pribadinya semata. Penggantian nama menjadi Madinah menyimbolkan bahwa
keberhasilan hanya akan dicapai dalam tata kehidupan yang beradab, ada sopan
santun dan etika ketika hendak menyampaikan pendapat, kritik dan masukan, ada
tata aturan yang mesti dipenuhi oleh orang-orang beradab, yang kemudian
dibuktikan dalam sejarah masa kini, bahwa dimanapun, tidak akan pernah bisa
mencapai keberhasilan, ketika individu-individu yang terlibat dalam proses itu
saling mengecam bahkan tak jarang menyebarkan fitnah-fitnah keji. Sebaliknya,
sebuah kondisi yang “beradab”, yang berdasarkan tata aturan dan norma
kesusilaan-lah yang mengantar sebuah bangsa, sebuah kelompok atau apapun untuk
mencapai keberhasilannya.Perjalanan Hijrah Nabi SAW ke Madinah.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment