TOKOH-TOKOH
PEMBAHARU
1. Pembaharuan Muhammad Ibnu Abdul Wahab
Muhammad
bin Abdul Wahab ibn Sulaiman ibn Ali bin Muhammad ibn Rasyid ibn Bari ibn
Musyarif ibn Umar ibn Muanad Rais ibn Zhahir ibn Ali Ulwi ibn Wahib, lahir pada
tahun 1703 dan meninggal pada tahun 1787 M. di Uyainah, daerah Nejeb Saudi
Arabia . Ia seorang pembaharu di Arabia , pengikut paham Ibnu Taimiyah dan
bermazhab Hambali.[1] Pelajaran agama sangat digemarinya, sejak kecil ia telah
belajar ilmu agama pada ayahnya seorang Qadhi di Uyainah. Dengan kecerdasannya,
dalam usia 10 tahun ia hafal Al-Qur’an.
Muhammad
ibnu Abdul Wahab adalah seorang yang sangat sibuk mengembara ke berbagai daerah
untuk menuntut ilmu pengetahuan, kemudian ia sampai ke Bagdaddan di sinilah
kemudian ia menikah dengan wanita kaya. Setelah limatahun istrinya meninggal
dan ia mendapatkan warisan sebesar 2000 dinar. Setelah itu ia kembali
mengembara ke Kurdistan selama dua tahun, di Hamadan dua tahun dan pernah pula
ke Isfahan, Qum ( Iran).
Perjalanannya
ke berbagai daerah ternyata sangat bermanfaat baginya, bahkan ia melihat
beberapa penyimpangan-penyimpangan akidah, yang diantaranya ialah:
a. Ia melihat kuburan atau makam para ulama syekh atau guru
tarikat yng bertebaran di tiap kota ataupun desa ramai dikunjungi oleh
masyarakat islam, dengan maksud memohon penyelesaian atas persoalan hidup
sehari-hari.
b. Aspek lain yang menjadi perhatinnya adalah masalah Taqlid.
Taqlid merupakan sumber kebekuan ummat Islam itu sendiri, disamping itu untuk
memahami ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist, orang harus
melakukan ijtihad, karena itu pintu ijtihad tidak pernah ditutup dan tidak
perlu ditutup.
Dalam
hal tauhid ini Muhammad ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatiannya terhadap pokok-pokok
pikirannya, yang berpendapat bahwa:
a. Yang
boleh dan harus disembah itu hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain
dari Tuhan telah menjadi musyrikn dan boleh dibunuh.
b. Kebanyakan
orang Islam bukan menganut faham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta
pertolongan bukan lagi pada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari
kekuatan gaib.
c. Menyebut
nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantara dalam do’a juga merupakan
syirik.
d. Meminta
syafaat selain dari kepada Tuhan dan bernazar kepada selain Tuhan juga syirik.
e. Memperoleh
pengetahuan selain dari Al-Qur’an, Hadits dan Qias (analogi) merupakan
kekufuran.
f. Tidak
percaya pada qada dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
g. Demikian
pula menafsirkan Al-Qu’ran dengan ta’wil adalah kufur.
Semua
yang diatas dianggap bid’ah dan bid’ah adalah kesesatan.
Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek lain yang timbul sesudah zaman itu
bukanlah ajaran Islam yang asli dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taqlid
dan patuh kepada pendapat ulama tidak dibenarkan. Muhammad ibnu Abdul Wahab
bukanlah hanya seorang teroris tetapi juga pemimpin yang dengan aktif berusaha
mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dorongan dari Muhammad ibn Su’ud dan
putranya Abd al-Aziz di Nejd . Tahun 1787 Muhammad Abduh meninggal dunia,
tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan
nama Wahabiah.
Pemikiran-pemikiran
Muhammad ibnu Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran
pembaharuan di abad kesembilan belas adalah sebagai berikut:
a. Hanya
Al-Qur’an dan Haditslah yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam.
Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
b. Taklid
kepada ulama tidak dibenarkan.
c. Pintu
ijtihad terbuka dan tidak tertutup
2. Pembaharuan Muhammad Ali Pasya
Muhammad
Ali, adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun
1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. orang tuanya bekerja sebagai
seorang penjual rokok dan dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tak
memperoleh kesempatan untuk masuk sekolah dengan demikian dia tidak pandai
menulis maupun membaca, meskipun ia tak pandai membaca atau menulis, namun ia
adalah seorang anak yang cerdas dan pemberani, hal itu terlihat dalam karirnya
baik dalam bidang militer ataupun sipil yang selalu sukses.
Setelah
dewasa, Muhammad Ali Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan karena ia rajin
bekerja jadilah ia kesenangan Gubernur dan akhirnya menjadi menantu Gubernur.
Setelah kawin ia diterima menjadi anggota militer, karena keberanian dan
kecakapan menjalankan tugas, ia diangkat menjadi Perwira. Pada waktu
penyerangan Napoleon ke Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan tentara ke Mesir,
diantaranya adalah Muhammad Ali Pasya, bahkan dia ikut bertempur melawan
Napoleon pada tahun 1801.
Rakyat
Mesir melihat kesuksesan Muhammad Ali dalam pembebasan mesir dari tentara
Napoleon, maka rakyat mesir mengangkat Muhammad Ali sebagai wali mesir dan
mengharapkan Sultan di Turki merestuinya. Pengakuan Sultan Turki atas usul
rakyatnya tersebut baru mendapat persetujuannya dua tahun kemudian, setelah
Turki dapat mematahkan Intervensi Inggris di Mesir.
Setelah
Muhammad Ali mendapat kepercayaan rakyat dan pemerintah pusat Turki, ia
menumpas musuh-musuhnya, terutama golongan mamluk yang masih berkuasa di
daerah-daerah akhirnya mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian Muhammad
Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, akan tetapi lama kelamaan ia asyik
dengan kekuasaannya, akhirnya ia bertindak sebagai diktator. Pada waktu
Muhammad Ali meminta kepada sultan agar Syiria diserahkan kepadanya, Sultan
tidak mengabulkannya. Muhammad Ali Pasya marah dan menyerang dan menguasai
Syiria bahkan serangan sampai ke Turki. Muhammad ali dan keturunannya menjadi
raja di Mesir lebih dari satu setengah abad lamanya memegang kekuasaan di
Mesir. Terakhir adalah Raja Farouk yang telah digulingkan oleh para jenderalnya
pada tahun 1953. Dengan demikian berakhirlah keturunan Muhammad Ali di Mesir.
Kalau
diteliti lebih mendalam, maka terkesan bahwa Muhammad Ali walaupun tidak pandai
membaca dan menulis, akan tetapi ia seorang yang cerdas, tanpa kecerdasan ia
tidak akan mendapat kekuasaan dan tujuan akhirnya adalah untuk menjadi penguasa
umat Islam, ia adalah seorang yang ambisius menjadi pimpinan umat Islam.
Hal-hal
ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali sebenarnya,
pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu
hal-hal yang akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang
dikirimnya ke Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya, dan oleh
karena itu mahasiswa-mahasiswa itu berada dibawah pengawasan yang ketat.
Mereka
tak diberi kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi, dengan mengetahui
bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis dan dengan membaca buku-buku Barat
seperti karangan-karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu dna lain-lain,
timbullah ide-ide baru mengenai Demokrasi, Parlemen, pemilihan wakil rakyat,
paham pemerintahan republic, konstitusi, kemerdekaan berfikir dan sebagainya.
Pada
mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilm-ilmu baru ini hanya terbatas bagi
orang-orang yang telah ke Eropa dan yang telah tahu bahasa Barat. Kemudian
faham-faham ini mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa
Barat, pada permulaannya dengan perantaraan kontak mereka dengan
mahasiswa-mahasiswa yang kembali dari Eropa dan kemudian dengan adanya
terjemahan buku-buku Barat itu kdalam bahasa arab. Yang penting diantara
bagian-bagian tersebut bagi perkembangan ide-ide Barat ialah bagian Sastra. Di
tahun 1841, diterjemahkan buku mengenai sejarah Raja-raja Perancis yang antara
lain mengandung keterangan tentang Revolusi Perancis. Satu buku yang serupa
diterjemahkan lagi tahun 1847.
Pembaharuan yang dilaksanakan oleh
Muhammad Ali :
a. Politik luar negeri
Muhammad Ali menyadari bahwa bangsa
mesir sangat jauh ketinggalan dengan dunia Barat, karenanya hubungan dengan
dunia Barat perlu diperbaiki seperti Perancis, Itali, Inggris dan Austria .
Menurut catatan antara tahun 1813-1849 ia mengirim 311 pelajar Mesir ke Itali,
Perancis, Inggris dan Austria . Selain itu dipentingkan pula ilmu Administrasi
Negara, akan tetapi system politik Eropa tidak menarik perhatian Muhammad Ali.
b. Politik dalam negeri
- Membangun kekuatan militer.
- Bidang pemerintahan.
- Ekonomi.
- Pendidikan.
Sepintas
pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali hanya bersifat keduniaan saja,
namun dengan terangkatnya kehidupan dunia ummat Islam sekaligus terangkat pula
derajat keagamaannya. Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali merupakan
landasan pemikiran dan pembaharuan selanjutnya. Pembaharuan Muhammad Ali
dilanjutkan oleh tahtawi, Jalaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
dan murid-murid Muhammad Abduh lainnya.
3. Pembaharuan Al-Tahtawi
Al-Tahtawi
adalah Rifa’ah Badawi Rafi’I, Al-tahtawi lahir pada tahun 1801 M. di Tanta
(Mesir Selatan), dan meninggal di Kairo pada tahun 1873. Dia adalah seorang
pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama
dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al-
Tahtawi turut memainkan peranan. Ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh
kekayaan di Mesir harta orang tua al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang
dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya dengan bantuan dari keluarga
ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar.
Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di Al-Azhar pada
tahun 1822.
Ia
adalah murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-‘Atthar yang banyak
mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis yang datang
dengan Napoleon ke Mesir. Syaikh Al-Attar melihat bahwa Tahtawi adalah seorang
pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam pikirannya, dan oleh karena itu ia
selalu memberi dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan.
Setelah selesai dari study di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama dua
tahun, kemudian diangkat menjadi imam tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian
dia diangkat menjadi imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad ali ke
Paris . Disamping tugasnya sebagai imam ia turut pula belajar bahasa Perancis
sewaktu ia masih dalam perjalanan ke Paris.
Buku-buku
yang dibaca Al-Tahtawi mencakup berbagai ilmu pengetahuan, dan ujiannya yang
terakhir di Paris pun adalah dalam lapangan terjemahan. Sekembalinya di Kairo
ia diangkat sebagai guru bahasa Prancis dan penerjemah di sekolah Kedokteran.
Di tahun 1836 didirikan “Sekolah Penerjemahan” yang kemudian diubah namanya
menjadi “Sekolah Bahasa-bahasa Asing”. Bahasa yang diajarkan adalah Arab,
Perancis, Turki, Itali dan juga ilmu-ilmu teknik, sejarah serta ilmu bumi.
Salah satu jalan kesejahteraan menurut Al-Tahtawi adalah berpegang teguh pada
agama dan akhlak (budi pekerti) untuk itu pendidikan merupakan sarana yang
penting.
Dalam
hal agama dan peranan ulama, al-Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu
mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan
modern.
Diantara hasil-hasil karyanya yang terpenting adalah:
Diantara hasil-hasil karyanya yang terpenting adalah:
a.
Takhlisul Abriiz Ila Takhrisu Bariiz.
b.
Manahijul Bab Al-Mishriyah fi Manahijil Adab al-Ashriyah.
c.
Al-Mursyid al-amin lil banaat wal banien.
d.
Al-Qaulus sadid fiijtihadi wat taliid.
e.
Anwar taufiq al-jalil fi akhbari mishra wa tautsiq bani Isra’il.
4. Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani
Jamaludin
al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan yang tempat tinggal dan
aktifitasnya berpindah-pindah dari satu negara ke negara Islam lainya pengaruh
terbesar yang ditinggalkannya adalah di Mesir, oleh karena itu uraian mengenai
pemikiran dan aktivitasnya dimasukkan kedalam bagian tentang pembaharuan di
dunia Arab. Jamaludin al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M. dan
meninggal dunia pada tahun 1897 M. Dalam silsilah keturunannya al-afghani
adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali ra. Ketika baru berusia duapuluh
dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di
Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun
kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri.
Kemudian
al-Afghani merasa lebih aman apabila meninggalkan tanah tempat lahirnya dan
pergi ke India di tahun 1869. tetapi di India dia juga merasa tidak bebas untuk
bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, oleh karena
itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di Kairo, pada mulanya
menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang
ilmiah dan sastra Arab.
Tetapi
ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur
tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Ketika itu ide-ide
al-Tahtawi sudah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, diantaranya ide
trias politica dan patriotisme, maka pada tahun 1879 atas usaha Al- Afghani
terbentuklah partai Al-Hizb al-Watani (partai nasional).
Tujuan
partai ini untuk memperjuangkan pendidikan universal dan kemerdekaan pers. Atas
sokongan partai ini al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa
waktu itu, yakni Khedewi Ismail. Masa delapan tahun menetap di Mesir itu
mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam disana menurut M.S. Madkur,
al-Afghanilah yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini
dapat mencapai kemajuan. “Mesir modern,”demikian Madkur, “ adalah hasil dari
usaha-usaha Jamaludin al-Afghani”.
Selama
di Mesir al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain:
a) Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain
dari lanjutan perang Salib.
b) Ummat Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan
saja.
c) Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan
Islamisme).
Pan
Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi
mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan
kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.
Untuk
mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas:
a) Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.
b) Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau
derajat budi luhur.
c) Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup, dan
kehidupan manusia bukan sekedar ikutan belaka.
d) Setiap
generasi ummat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan
pendidikan pada manusia-manusia bodoh dan juga memerangi hawa nafsu jahat dan
menegakkan disiplin.
Selama
delapan tahun menetap di Mesir ia pergi ke Paris , disini ia mendirikan
perkumpulan “Al-Urwatul Wusqa” yang anggotanya terdiri dari orang-orang Islam
dan India , Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Diantara tujuan yang
ingin dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan
membawa Islam kepada kemajuan. Kemudian di Paris inilah ia bertemu dengan
muridnya yang setia yaitu Muhammad Abduh dan kemudian ia kembali ke Istambul,
sampai akhir hayatnya.
4. Pembaharuan Syekh Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa
yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada
tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi
sekitar tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn
Hasan Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki, dan ibunya mempunyai
keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).
Orang
tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikannya, pada tahun1862 ia dikirim
oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta .
Hanya dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang
diajarkan gurunya. Setelah belajar di Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke
perguruan tinggi di Al-Azhar di Kairo, disinilah ia bertemu dengan Jamaludin
al-Afghani dan kemudian ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa
inilah ia mulai membuat karangan untuk harian al-Ahram yang pada saat itu baru
didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan hasil yang
sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen
al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum.
Dalam
peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882)
Muhammad
Abduh ikut terlibat didalamnya, sehingga ketika pemberontakan berakhir, ia
diusir dari Mesir. Dalam pembuangannya ia memilih di Syiria ( Beirut ) di sini
ia mendapat kesempatan mengajar pada perguruan tinggi Sultaniah, kurang lebih
satu tahun lamanya. Kemudian ia pergi ke Paris atas panggilan Sayyid Jamaludin
al-Afghani, yang pada waktu itu tahun1884 sudah berada disana. Muhammad Abduh
kebetulan diperkenankan pulang ke Mesir, sedang Jamaluddin mengembara di Eropa
kemudian terus ke Moskow.
Di
Mesir Muhammad Abduh diserahi jabatan Mufti Mesir, disamping itu ia diangkat
menjadi anggota Majelis Perwakilan (Legilative Council), Muhammad Abduh pernah
juga di serahi jabatan hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal
sebagai seorang Hakim yang adil.
Pokok-pokok
pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek, yaitu:
Pertama,
aspek kebebasan, antara lain; dalam usaha memperjuangkan cita-cita
pembaharuannya, MuhammadAbduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme
Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan.
Kedua,
aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan untuk
mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan seperti itu
akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa yang
menyertainya.
Ketiga,
aspek keagamaan, dalam masalah in Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya
taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu terbuka.
Keempat,
aspek pendidikan antara lain, al-Azhar mendapatkan perhatian perbaikan,
demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat
perhatiannya.
Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal diluar kepala perlu diganti dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.
Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal diluar kepala perlu diganti dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.
5. Pembaharuan Rasyid Ridha
Rasyid
Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di
Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli
(Suria). Ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan
ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan
membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah
al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli.
Di
Madrasah ini, selain bahasa arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis, dan
disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern.
Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang
telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut tidak
panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah
agama yang ada di Tripoli.
Disamping
itu Rasyid Ridha memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui
membaca kitab-kitab yang ditulis al-Ghozali, antara lain Ihya Ulumuddin sangat
mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan
baktinya terhadap agama. Rasyid Ridha mulai mencoba dan menerapkan ide-idenya
ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari
pihak kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas, karena itu ia
memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada tahun 1898 M.
Rasyid Ridha hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dan
dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al- Manar” untuk
menyebarluaskan ide-idenya dalam pembaharuan.
Pada
dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan gurunya, terutama
dalam titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan
adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi
amaliyahnya. Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak
lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, dan perbuatan mereka telah
menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab
yang membawa kemunduran ummat Islam, karena faham fatalisme, ajaran-ajaran
tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran ummat Islam
menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis.
Dalam
hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha berpendapat bahwa derajat akal
itu lebih tinggi, akan tetapi hanya dapat dipergunakan dalam masalah
kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam masalah ibadah. Diantara
aktivis beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang
dinamakan dengan “al-dakwah wal irsyad” pada tahun 1912 di kairo.
Para
lulusan dari seoah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang membutuhkan
bantuan mereka. Kemudian melalui majalah al-Manar ia menjelaskan bahwa inggris
dan perancis yang berusaha membagi-bagi daerah arab ke dalam kekuasaannya
masing-masing. Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah
bentuk kekhalifahan yang tidak absolute, kholifah hanya bersifat koordinator,
tidaklah mungkin menyatukan ummat islam ke dalam satu system pemerintahan yang
tunggal, karena khalifah hanya menciptakan hukum perundang-undangan dan menjaga
pelaksanaannya.
Rasyid
Ridha menyadari pertentangan yang makin ada diantara nasionalisme dan kesetiaan
kepada persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan paham
ummat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan
bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh, tetapi dalam hal
pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas
pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding
Rasyid Ridha.
Perbedaan
antara guru dan murid tersebut sangat terlihat, misalnya dalam hal paham-paham
teologi dan jujga dalam Tafsir al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap
uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan
ayat-ayat Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha
menafsirkan apa adanya ia tidak mentakwil.
Rasyid
Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang
selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 jumadil ula 1354/ 22 agustus
1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Qur’an ditangannya.
6. Pembaharuan Qasyim Amin
Qasyim
Amin lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi,
tetapi menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke
Perancis sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu
hukum, setelah selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir.
Dalam hal pembaharuan di masyarakat ia lebih mengutamakan dalam hal memperbaiki
nasib wanita.
Ide
inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir al-mar’ah
(“emansipasi wanita”). Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar seperdua
dari jumlah penduduk Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan pembaharuan,
karena itu kebebasan dan pendidikan wanita perlu mendapat perhatian. Ide Qasyim
Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya ialah pendapat bahwa penutupan
wajah wanita bukanlah ajaran Islam.
Tidak
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah
wanita murupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah
adalah kebiasaan yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam.
Dan
karena kritik dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia perlu
memberi jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-mar’ah al-jadilah
(“wanita modern”). Ide-ide ini, tentu ada yang setuju dan ada pula yang tidak
setuju, tapi sekarang ini usaha itu sudah dapat dirasakan hasilnya.
No comments:
Post a Comment