Contoh Cerita Mitos - Pada postingan ini akan diberikan contoh cerita mitos
kepada anda. Namun sebelum mempublikasikan contoh cerita mitos tersebut maka
alangkah baiknya kita bahas dulu pengertian dari cerita mitos itu sendiri.
Dalam pelajaran bahasa Indonesia,
kata mitos sendiri berasal dari kata mite (myth) yang berarti prosa rakyat.
Jadi arti erita mitos disini dapat diuraikan menjadi cerita prosa rakyat yang
sudah dikenal sejak lama dan telah dipercayai bahwa pristiwa yang diceritakan
didalam sebuah alur cerita tersebut memang pernah terjadi.
Berikut adalah yang berjudul "Beru Ginting Sope Mbelin", cerita
ini sendiri merupakan cerita rakyat dari daerah Tanah Karo, Sumatera Utara.
Di daerah Urung Galuh Simale ada
sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup
bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang
bernama Beru Ginting Sope Mbelin.
Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.
Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.
Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.
Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya.
Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.
Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.
Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.
Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat.
Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.
Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.
Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.
Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.
Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.
Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.
Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.
Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri.
Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka.
Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.
Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.
Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.
Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana.
Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali “gendang tradisional” Karo serta diiringi dengan tarian, antaralain:
a. gendang si ngarak-ngaraki;
b. gendang perang si perangen;
c. gendan perang musuh;
d. gendang mulih-mulih;
e. gendang ujung perang;
f. gendang rakut;
g. gendang jumpa malem;
h. gendang morah-morah;
i. gendang tungo-tungko.
Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.
Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.
Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.
Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.
Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya.
Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.
Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.
Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.
Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat.
Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.
Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.
Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.
Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.
Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.
Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.
Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.
Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri.
Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka.
Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.
Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.
Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.
Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana.
Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali “gendang tradisional” Karo serta diiringi dengan tarian, antaralain:
a. gendang si ngarak-ngaraki;
b. gendang perang si perangen;
c. gendan perang musuh;
d. gendang mulih-mulih;
e. gendang ujung perang;
f. gendang rakut;
g. gendang jumpa malem;
h. gendang morah-morah;
i. gendang tungo-tungko.
Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.
Legenda Kamandaka Si Lutung Kasarung
goa
jatijajar
Cerita ini
adalah versil lain dari Lutung Kasarung yang banyak didengar di daerah Sunda. Cerita Lutung
Kasarung ini merupakan cerita versi Pasir Luhur. Tidaklah penting mana yang
benar antara kedua versi tersebut, yang jelas, cerita-cerita ini untuk
menghibur dan dipetik pelajarannya.
Di Jawa Barat
pada jaman dahulu kala ada sebuah Kerajaan Hindu yang besar dan cukup kuat,
yaitu berpusat di kota Bogor. Kerajaan itu adalah Kerajaan “Pajajaran”, pada
saat itu raja yang memerintah yaitu Prabu Siliwangi. Beliau sudah lanjut usia
dan bermaksud mengangkat Putra Mahkotanya sebagai penggantinya.
Prabu
Siliwangi mempunyai tiga orang putra dan satu orang putri dari dua Permaisuri,
dari permaisuri yang pertama mempunyai dua orang putra, yaitu Banyak Cotro dan
Banyak Ngampar. Namun sewaktu Banyak Cotro dan Banyak Ngampar masih kecil ibunya
telah meninggal.
Maka Prabu
Siliwangi akhirnya kawin lagi dengan permaisuri yang kedua, yaitu
Kumudaningsih. Pada waktu Dewi Kumuudangingsih diambil menjadi Permaisuri oleh
Prabu Siliwangi, ia mengadakan perjanjian, bahwa jika kelak ia mempunyai putra
laki-laki, maka putranyalah yang harus meggantikan menjadi raja di Pajajaran.
Dari
perkawinannya dengan Dewi Kumudaningsih, Prabu Silliwangi mempunyai seorang
putra dan seorang putri, yaitu: Banyak Blabur dan Dewi Pamungkas.
Pada suatu
hari Prabu Siliwangi memanggil Putra Mahkotanya, Banyak Cotro dan Banyak Blabur
untuk menghadap, maksudnya ialah Prabu Siliwangi akan mengangkat putranya untuk
menggantikan menjadi raja di Pajajaran karena beliau sudah lajut usia.
Namun dari
kedua Putra Mahkotanya belum ada yang mau diangkat menjadi raja di Pajajaran.
Sebagai putra sulungnya Banyak Cokro mengajukan beberapa alasan, antara lain
alasannya adalah:
- Untuk memerintahkan Kerajaan dia belum siap, karena belum cukup ilmu.
- Untuk memerintahkan Kerajaan seorang raja harus ada Permaisuri yang mendampinginya, sedangkan Banyak Cotro belum kawin.
Banyak
Cotro mengatakan bahwa dia baru kawin kalau sudah bertemu dengan seorang putri
yang parasnya mirip dengan ibunya. Oleh sebab itu Banyak Cotro meminta ijin
pergi dari Kerajaan Pajajaran untuk mencari putri yang menjadi idamannya.
Kepergian
Banyak Cotro dari Kerajaan Pajajaran melalui gunung Tangkuban Perahu, untuk menghadap
seorang pendeta yang bertempat di sana. Pendeta itu ialah Ki Ajar Winarong,
seorang Pendeta sakti dan tahu untuk mempersunting putri yang di
idam-idamkannya dapat tercapai.
Namun ada
beberapa syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh Banyak Cotro, yaitu
harus melepas dan menaggalkan semua pakaian kebesaran dari kerajaan dengan
hanya memakai pakaian rakyat biasa. Dan ia harus menyamar dengan nama samaran
“Raden Kamandaka”
Setelah
Raden Kamandaka berjalan berhari-hari dari Tangkuban Perahu ke arah Timur, maka
sampailah Raden Kamandaka kewilayah Kadipaten Pasir Luhur.
Secara
kebetulan Raden Kamandaka sampai Pasir Luhur, betemu dengan Patih Kadipaten
Pasir Luhur yaitu Patih Reksonoto. Karena Patih Reksonoto sudah tua tidak
mempuunyai anak, maka Raden Kamandaka akhirnya dijadikan anak angkat Patih
Reksonoto merasa sangat bangga dan senang hatinya mempunyai Putra Angkat Raden
Kamandaka yang gagah perkasa dan tampan, maka Patih Reksonoto sangat
mencintainya.
Adapun
yang memerintahkan Kadipaten Pasir Luhur adalah “Adi Pati Kanandoho”. Beliau
mempunyai beberapa orang Putri dan sudah bersuami kecuali yang paling bungsu
yaitu Dewi Ciptoroso yang belum bersuami. Dewi Ciptoroso inilah seorang putri
yang mempunyai wajah mirip Ibu raden Kamandaka, dan Putri inilah yng sedang
dicari oeh Raden Kamandaka.
Suatu
kebiasaan dari Kadipaten Pasir Luhur bahwa setiap tahun mengadakan upacara
menangkap ikan di kali Logawa. Pada upacara ini semua keluarga Kadipaten Pasir
Luhur beserta para pembesar dan pejabatan pemerintah turut menangkap ikan di
kali Logawa.
Pada waktu
Patih Reksonoto pergi mengikuti upacara menangkap ikan di kali Logawa, tanpa
diketahuinya Raden Kamandaka secara diam-diam telah mengikutinya dari belakang.
Pada kesempatan inilah Raden Kamandaka dapat bertemu dengan Dewi Ciptoroso dan
mereka berdua saling jatuh cinta.
Atas
permintaan dari Dewi Ciptoroso agar Raden Kamandaka pada malam harinya untuk
dating menjumpai Dewi Ciptoroso di taman Kaputren Kadipaten Pasir Luhur tempat
Dewi Ciptoroso berada. Benarlah pada malam harinya Raden Kamandaka dengan
diam-diam tanpa ijin patih Resonoto, ia pun pergi menjumpai Dewi Ciptoroso yang
sudah rindu menanti kedatangan Raden Kamandaka.
Namun
keberadaan Raden Kamandaka di Taman Kaputren Bersama Dewi Ciptoroso tidak
berlangsung lama. Karena tiba-tiba prajurit pengawal Kaputren mengetahui bahwa
di dalam taman ada pencuri yang masuk. Hal ini kemu kemudian dilaporkan oleh
Adipatih Kandandoho.
Menanggapi
laporan ini, maka Adipatih sangat marah dan memerintahkan prajuritnya untuk
menangkap peencuri tersebut. Karena kesaktian dan ilmu ketangkasan yang
dimiliki oleh Raden Kamandaka, maka Raden Kamandaka dapat meloloskan diri dari
kepungan prajurit Pasir Luhur.
Sebelum
Raden Kamandaka lolos dari Taman Kaputren, ia sempat mengatakan identitasnya.
Bahwa ia bernama Raden Kamandaka putra dari Patih Reksonoto.
Hal ini
didengar olehh prajurit, dan melaporkan kepada Adipatih Kandandoho. Mendengar
hal ini maka Patih Reksonoto pun dipanggil dan harus menyerahkan putra nya.
Perintah ini dilaksanakan oleh Patih Reksonoto, walaupun dalam hatinya
sangatlah berat. Sehimgga dengan siasat dari Patih Reksonoto, maka Raden
Kamandaka dapat lari dan selamat dari pengejaran para prajurit.
Raden
Kamandaka terjun masuk kedalam sungai dan menyelam mengikuti arus air sungai. Oleh Patih
Reksonoto dan para prajurit yang mengejar, dilaporkan bahwa Raden Kamandaka
dikatakan sudah mati didalam sugai. Mendengar berita ini Adipatih Kandandoho
merasa lega dan puas. Nmun sebaliknya Dewi Ciptoroso yang setelah mendengar
berita itu sangatlah muram dan sedih.
Sepanjang
Raden Kamandaka menyelam mengikuti arus sungai bertemulah dengan seorang yang
memancing di sungai. Orang tersebut bernama Rekajaya, Raden Kamandaka dan
Rekajaya kemudian berteman baik dan menetap di desa Panagih. Di desa ini Raden
Kamandaka diangkat anak oleh Mbok Kektosuro, seorang janda miskin di desa
tersebbut.
Raden
Kamandaka menjadi penggemar adu ayam. Kebetulan Mbok Reksonoto mempunyai ayam
jago yang bernama “Mercu”. Pada setiap penyabungan ayam Raden Kamandaka selalu
menang dalam pertandingan, maka Raden Kamandaka menjadi sangat terkenal sebagai
botoh ayam.
Hal ini
tersiar sampai kerajaan Pasir Luhur, mendengar hal ini Adipatih Kandadoho
menjadi marah dan murka. Beliau memerintahkan prajuritnya untuk menagkap hidup
atau mati Raden Kamandaka.
Pada saat
itu tiba-tiba datanglah seorang pemuda tampan mengaku dirinya bernama
“Silihwarni” yang akan mengabdikan diri kepada Pasir Luhur, maka ia
permohonannya diterima, tetapi asalkan ia harus dapat membunuh Raden Kamandaka.
Untuk membuktikannya ia harus membawa darah dan hati Raden Kamandaka.
Sebenarnya
Silihwarni adalah nama samaran. Nama itu sebenarnya adalah Banyak Ngampar Putra
dari kerajaan Pajajaran, yaitu adik kandung dari Raden Kamandaka.
Ia oleh
ayahnya Prabu Siliwangi ditugaskan untuk mencari saudara kandungnya yang pergi sudah lama
belum kembali. Untuk mengatasi gangguan dalam perjalanan, ia dibekali pusaka
keris Kujang Pamungkas sebagai senjatanya. Dan dia juga menyamar dengan nama
Silihwarni, dan berpakaian seperti rakyat biasa.
Karena ia
mendengar berita bahwa kakak kandungnya berada di Kadipaten Pasir Luhur, maka
ia pun pergi kesana. Setelah Silihwarni menerima perintah dari Adipatih,
pergilah ia dengan diikuti beberapa prajurit dan anjing pelacak menuju desa
Karang Luas, tempat penyabungan ayam.
Di tempat
inilah mereka bertemu. Namun keduanya sudah tidak mengenal lagi. Silihwari
berpakaian seperti raknyat biasa sedangkan Raden Kamandaka berpakaian sebagai
botoh ayam, dan wajahnya pucat karena menahan kernduan kepada kekasihnya.
Terjadilah
persabungan ayan Raden Kamandaka dan Silihwarni, dengan tanpa disadari oleh
raden kamandaka tiba-tiba Silihwarni menikam pinggang Raden Kamandaka dengan
keris Kujang Pamungkasnya. Karena luka goresan keris itu tersebut darahpun
keluar dengan deras. Namun karena ketangkasan Raden Kamandaka, ia pun dapat
lolos dari bahaya tersebut dan tempat ia dapat lolos itu dinamakan desa
Brobosan, yang berarti ia dapat lolos dari bahaya.
Karena
lukanya semakin deras mengeluarkan darah, maka ia pun istirahat sebentar
disuatu tempat, maka tempat itu dinamakan Bancran. Larinya Raden Kamandaka
terus dikejar oleh Silihwarni dan prajurit. Pada suatu tempat Raden Kamandaka
dapat menangkap anjing pelacaknya dan kemudian tempat itu diberinya nama desa
Karang Anjing.
Raden
Kamandaka terus lari kearah timur dan sampailah pada jalan buntu dan tempat ini
ia memberi nama Desa Buntu. Pada akhirnya Raden Kamandaka sampailah di sebuah
Goa. Didalam Goa ini ia beristirahat dan bersembunyi dari kejaraan Silihwarni.
Silihwarni yang terus mengejar setelah sampai goa ia kehilangan jejak. Kemudian
Silihwarnipun dari mulut goa tersebut berseru menantang Raden Kamandaka.
Setelah
mendengar tantagan Silihwarni, Raden Kamandaka pun menjawab ia mengatakan
identitasnya, bahwa ia adalah putra dari kerajaan Pajajaran namanya Banyak
Cotro.
Setelah
itu Silihwarnipun mengatakan identitasnya bahwa ia juga putra dari Kerajaan
Pajajaran, bernama Banyak Ngampar. Demikian kata-kata yang pengakuan antara
Raden Kamandaka dan Silihwarni bahwa mereka adalah putra pajajaran, maka orang
yang mendengar merupakan nama versi ke-2, untuk Goa Jatijajar tersebut.
Kemudian mereka berdua berpeluka dan saling memaafkan.
Namun
karena Silihwarni harus membawa bukti hati dan darah Raden Kamandaka, maka
akhirnya anjing pelacaknya yang dipotong diambil darah dan hatinya. Dikatakan
bahwa itu adalah hati dan darah Raden Kamandaka yang telah dibunuhnya.
Raden
Kamandaka kemudian bertapa di dalam goa dan mendapat petunjuk, bahwa niatnya
untuk mempersunting Dewi Ciptoroso akan tercapai kalau ia sudah mendapat
pakaian “Lutung” dan ia disuruh supaya mendekat ke Kadipaten Pasir Luhur, yaitu
supaya menetap di hutan
Batur Agung, sebelah Barat Daya dari batu Raden.
Suatu
kegemaran dari Adipatih Pasir Luhur adalah berburu. Pada suatu hari Adipatih
dan semua keluarganya berburu, tiba-tiba bertemulah dengan seekor lutung yang
sangat besar dan jinak. Yang akhirnya di tangkaplah lutung tersebut
hidup-hidup.
Sewaktu
akan dibawa pulang, tiba-tiba Rekajaya datang mengaku bahwa itu adalah lutung
peliharaannya, dan mengatakan beredia membantu merawatnya jika lutung itu akan
dipelihara di Kadipaten. Dan permohonan itu pun dikabulkan.
Setelah
sampai di kadipaten para putri berebut ingin memelihara lutung tersebut. Selama
di Kadipaten lutung tersebut tidak mau dikasih makan. Oleh sebab itu akhirnya
oleh Adipatih lutung tersebut disayembarakan yaitu jika ada salah seorang dari
putrinya dapat memberi makan dan diterima oleh lutung tersebut maka ia lah yang
akan memelihara lutung tersebut.
Ternyata
makanan yang diterima oleh lutung tersebut hanyalah makanan dari Dewi Ciporoso,
maka “Lutung Kasarung” itu menjadi peliharaan Dewi Ciptoroso. Pada malam hari
lutung tersebut berubah wujud menjadi Raden Kamandaka. Sehingga hanya Dewi
Ciptoroso yang tahu tentang hal tersebut. Pada siang hari ia berubah menjadi
lutung lagi. Maka keadaan Dewi kini menjadi sangat gembira dan bahagia, yang
selalu ditemani lutung kasarung.
Alkisah
pada suatu hari raden dari Nusa Kambangan Prabu Pule Bahas menyuruh Patihnya
untuk meminang Putri Bungsu Kadipaten Pasir Luhur Dewi Ciptoroso dan mengancam
apabila pinangannya ditolak ia akan menghancurkan Kadipaten Pasir Luhur.
Atas saran
dan permintaan dari Lutung Kasarung pinangan Raja Pule Bahas agar supaya
diterima saja. Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh raja Pule
Bahas. Salah satunya ialah dalam pertemuan pengantin nanti Lutung Kasarung
harus turut mendampingi Dewi Ciporoso.
Pada waktu
pertemuan pengantin berlangsung, Raja Pule Bahas selalu diganggu oleh Lutung
Kasarung yang selalu mendampingi Dewi Ciptoroso. Oleh sebab itu Raja Pule Bahas
marah dan memukul Lutung Kasarung. Namun Lutung Kasarung telah siap berkelahi
melawan Raja Pule Bahas.
Pertarungan
Raja Pule Bahas dengan Lutung Kasarung terjadi sangat seru. Namun karena
kesaktian dari Luung Kasarung, akhirnya Raja Pule Bahas gugur dicekik dan
digigit oleh Lutung Kasarung.
Tatkala
Raja Pule Bahas gugur maka Lutung Kasarung pun langsung menjelma menjadi Raden
Kamandaka, dan langsung mengenkan pakaian kebesaran Kerajaan Pajajaran dan
mengaku namanya Banyak Cotro. Kini Adipatih Pasir Luhur pun mengetahui hal yang
sebenarnya adalah Raden Kamandaka dan Raden Kamandaka adalah Banyak Cotro dan
Banyak Cotro adalah Lutung Kasarung putra mahkota dari kerajaan Pajajaran. Dan
akhirnya ia dikawinkan dengan Dewi Ciptoroso.
Namun
karena Raden Kamandaka sudah cacat pada waktu adu ayam dengan Silihwarni kena
keris Kujang Pamungkas maka Raden Kamandaka tidak dapat menggantikan menjadi
raja di Pajajaran.
Karena
tradisi kerajaan Pajajaran, bahwa putra mahkota yang akan menggantikan menjadi
raja tidak boleh cacat karena pusaka Kujang Pamungkas. Sehingga setelah ia
dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso, Raden Kamandaka hanya dapat menjadi Adipatih
di Pasir Luhur Menggantikan mertuanya. Sedangkan yang menjadi Raja di Pajajaran
adalah Banyak Blabur.
No comments:
Post a Comment